Masa-Masa Sulit
Boleh dibilang almarhum memulai kehidupan berkeluarga dari nol. Segera setelah diangkat sebagai guru di almamaternya, pria kelahiran 1 September 1940 itu langsung menikahi gadis tambatan hatinya, Zainab binti Abdul Hamid (1/5/1964).
Dalam suasana serba kekurangan, mantan Ketua PII Cabang Bangil (1964-1966) itu, bersama istrinya mengarungi bahtera rumah tangga. Seperti disebutkan dalam “Siapa & Siapa 50 Tokoh Muhammadiyah Jawa Timur”, dirinya setiap bulan terpaksa “berbulan sabit”, karena gajinya sebagai pengelola majalah Al Muslimun dan guru di Pesantren PERSIS Bangil, hanya sebesar Rp 400,- (empat ratus rupiah). “Gaji segitu, cuma cukup untuk makan beberapa hari,” tuturnya.
Dalam suatu kesempatan beliau bercerita, tidak bisa berangkat khutbah Jum’at lantaran sudah lama tidak makan. Pengalaman getir lainnya terjadi saat mau mengisi pengajian di Surabaya. “Abah tidak punya uang untuk ongkos ke Surabaya, lalu hutang ke tetangga. Sesampai di Surabaya, ternyata pengajiannya batal karena hujan lebat. Terpaksa Abah minta uang ke takmir masjid tempat ceramah, untuk ongkos pulang karena sudah tidak punya uang lagi,” kenang Faiz yang waktu kecilnya sering diajak menemani berdakwah.
(Baca: Penulis Produktif dan Moderat, kemudian Terantuk di Dewan Kembali ke Persyarikatan, serta “Memanfaatkan” Ustadz Mu’ammal)
(Baca juga: Bayangan Sampai Kenyataan dan Komentar serta Kesan dari Kolega)
Berulang kali diuji kesulitan ekonomi, tetap tidak menurunkan semangat juangnya untuk menegakkan kebenaran. Hal itu tidak lepas dari dukungan sang istri yang setia dan sangat tabah. Dia merasakan, dukungan dan ketabahan istri sangat besar maknanya bagi seorang aktivis dalam menghadapi suka duka perjuangan.
Pada tahun 1965 misalnya, ketika istrinya sedang hamil muda, ia memimpin rombongan Pelajar Islam Indonesia (PII) Bangil untuk melawan ulah BTI (Barisan Tani Indonesia/underbow PKI) di Kanigoro yang mengganggu training PII.
Selanjutnya halaman 03…..