PWMU.CO – Inilah seri terakhir dari empat vatatan perjalanan Kontributor PWMU.CO Ria Eka Lestari saat mengikuti The Master Level Course on Sharia and Human Rights di UMM Inn beberapa waktu lalu.
Selamat menikmati kisah nyata yang ditulis dengan gaya cerpen ini. Redaksi.
**
Stasiun Kekinian. Mungkin tepat disandang Stasiun Malang Kota Baru. Meski bangunannya bernuansa tempoe doeloe tapi ada sudut yang menunjukkan gaya masa kini. Apa itu? Selfie corner. He he …
Cocok nich untuk remaja ataupun keluarga yang ingin mengabadikan singgahnya di stasiun itu. Cekrek upload cekrek … Aku pun mencoba berfoto di sudut itu.
Pandanganku beralih pada sekelompok pemusik tak jauh dari sudut foto. Pengunjung stasiun boleh request lagu bahkan menyumbangkan lagu. Hmmm … Kunikmati persembahan itu sambil menunggu kereta datang. Lagu-lagu kenangan yang dinyanyikan serasa membawaku pada tahun 1941 saat dibangunnya stasiun ini.
“Kita di jalur tiga, Mbak,” seru Rohman membuyarkan lamunanku. Entah darimana datangnya temanku ini. Sejak tadi menghilang, tiba-tiba sudah muncul di belakangku.
Baca Asyik Wawancara dengan Remaja Difabel, Tiba-Tiba Kereta Itu…
“Iya iya. Masih nanti kan?” sahutku sambil toleh kanan toleh kiri mencari jalur 3. “Oh di situ,” kataku lirih saat aku menemukan tulisan besar ‘JALUR 3’.
Lantunan tembang kenangan membuatku lupa waktu. Hingga suara peringatan dari pusat informasi mengagetkanku. “Ya Allah kereta datang,” teriakku dalam hati.
Aku pun bergegas memanggil Rohman. Kami tak mau kejadian di Stasiun Wonokromo sebelumnya terulang kembali. Saat itu kami hampir saja tertinggal kereta karena terpisah dan aku sibuk berbincang dengan Winarsih, penyanyi Tuna Netra. Dan kali ini tidak boleh. Tidak boleh.
Bergegas setengah berlari kami menyusuri pagar pembatas antara ruang tunggu dan jalur kereta. Tidak! Tidak ada jalan! Kemana? Lewat mana? Kami pun mulai panik.
“Jalur 3 lewat mana Pak?” tanya Rohman pada salah satu penumpang yang duduk di ujung ruang tunggu.
“Bawah Mas,” jawabnya singkat sambil menunjuk ke arah tangga turun yang cukup jauh dari kami.
Ya Allah …… skenario apa lagi ini. Klakson angin kereta sudah berbunyi. Lari! Lari! Kuturuni tangga dengan setengah berlari. Aku harus tetap fokus dan hati-hati. Tak ingin kaki ini terpeleset dan jatuh. Akan lebih terlambat nantinya.
Sesampainya di bawah tak bisa kutahan kekagumanku. Subhanallah, lorong bawah tanah yang unik. Entah desain model apa yang ada dalam pikiran J Van der Eb saat membuat karya stasiun ini. Cat dinding yang sudah kusam dan suasana lorong yang sepi menciptakan nuansa sedikit mistis. Hiiii ngeriiii …
Tunggu! Kami harus ke mana ini? Ada 3 jalan. Kanan, kiri, atau depan. Tak satupun orang yang di sini. Tak ada tanda lokasi. Keringat dingin mulai keluar. Kami berpandangan sejenak dan akhirnya sepakat memilih depan.
Baca juga: Remaja Tunanetra Itu seperti Petunjuk Allah yang “Diwahyukan” di Stasiun Wonokromo
Lari! Terus berlari! Sampai akhirnya terhenti oleh dua tangga. Kiri atau kanan. Klakson ke dua telah terdengar. “Itu klakson terakhir!” teriakku.
Aku pun mengikuti Rohman yang memilih arah kiri. Kereta sudah berjalan perlahan. Kami berlari secepat mungkin sambil berusaha meraih pegangan pintu salah satu gerbong terdekat daaaannnn … Naik!
“Huh … Huh,” nafas kami tersengal di daun pintu. Setelah itu kami pun tertawa. Ya, menertawakan diri sendiri lebih tepatnya. Kubayangkan saat mengejar kereta tadi ada lagu yang mengiringi. “Wuiiihhh pasti ca’em kayak pilem Indiahe,” candaku sambil tertawa lebih keras.
Tak pernah terpikir sebelumnya kalau aku harus melalui perjalanan yang seperti ini. Alhamdulillah, trima kasih Allah. Pelajaran-pelajaran yang Kau berikan untukku malam ini (31/10/17) tentu bukan tanpa makna.
Kereta Penataranku melaju meninggalkan stasiun melewati bangunan lama yang bersebelahan dengan Dipo Kereta dan Sub Dipo Lokomotif Malang. Pada awalnya, bangunan stasiun yang sebenarnya (bangunan lama) berada di sisi timur bangunan yang sekarang. Sesuai rancangan awal, penumpang yang baru turun dari kereta api langsung disuguhi pemandangan gunung Panderman di sebelah barat.
Oleh karena stasiun ini dipandang tidak mampu lagi menampung jumlah penumpang yang semakin meningkat, maka dibuatlah bangunan baru yang lebih besar di sisi barat.
Kini bangunan lama itu difungsikan sebagai kantor dan gudang untuk menyimpan alat-alat perawatan jalur kereta api.
Satu lagi pelajaran untuk kubawa pulang adalah kenali denah tempat kau singgah. Di manapun, agar tak tersesat dan tahu arah jalan pulang. Ha ha ha … (*)