Palestina dan Kisah Yusuf AS
Oleh Imam Shamsi Ali *)
PWMU.CO – Kota Jerusalem tidak akan bisa terpisahkan dari rangkaian kisah NABI Ibrahim dan anak cucunya. Dua putra Ibrahim yang terpopuler dalam sejarah adalah Ismail dan Ishak (alaihim As-salam).
Ismail kita kenal dalam hidupnya kemudian berimigrasi ke Tanah Haram, Makkah Al-Mukarramah. Sementara Ishak yang dilahirkan di Jerusalem setelah Ismail melalui masa remajanya, dengan kisah pengorbanan, tetap berdomisili di Al-Quds As-Sharif atau Kota Jerusalem.
Salah satu putra keturunan Ishak yang terpopuler, khususnya dalam sumber-sumber keagamaan Islam (Al-Quran dan sirah) adalah Ya’qub (alaihissalam) dan 12 putranya yang terekam jelas dalam sebuah surah khusus Al-Quran, surah Yusuf atau surah nomer 12 dalam Al-Quran.
Yang ingin saya sampaikan kali ini bukan sejarah Ibrahim dan anak keturunannya sebagai sejarah. Tapi bagaimana peristiwa demi peristiwa yang menimpa Palestina saat ini sangat relevan dengan apa yang menimpa cicit Ibrahim, cucu Ishak dan putra Ya’qub, yaitu Yusuf alaihissalam.
Kehidupan Yusuf penuh dengan drama yang terkadang ada di luar batas nalar manusia memahaminya. Kehidupannya penuh dengan liku-liku dan misteri samawi yang tidak sederhana dicerna oleh akal manusia.
Cobaan ke cobaan yang lain, dan dalam ragam bentuknya dilaluinnya dengan kematangan iman. Dicintai tapi dibenci, hendak dibinasakan tapi diselamatkan dengan penyelamat ghaib, dijual sebagai budak tapi penuh kehormatan dan kesenangan, bahkan dipenjara lalu menjadi raja yang terhormat.
Mari kita lihat beberapa kemiripan antara Yusuf dan bumi Palestina. Kemiripan yang tentunya juga karena ikatan historis tadi.
Pertama, pada keduanya banyak keberkahan sehingga menjadikan orang lain hasad.
Tidak dapat disangkal hidup Yusuf dengan segala cobaan yang ada adalah kehidupan yang mubaarak (diberkahi). Betapa tidak, dia ditakdirkan terlahir dalam keluarga yang memang dengan darah keturunan para nabi. Tidak ada lagi keberkahan tertinggi dalam hidup ini melebihi keberkahan dalam bentuk kenabian itu. Nubuwah atau kenabianlah yang menjadikan bumi ini hidup dan memiliki sinar.
Keberkahan seperti ini menjadikan Yusuf memiliki kelebihannya. Tentu selain kelebihan fisik karena memiliki ketampanan yang luar biasa, juga memiliki kepintaran yang di luar batas biasa. Tapi yang terpenting, Yusuf digambarkan sebagai manusia yang memiliki karakter agung. Berbagai kelebihan inilah yang menjadikannya dincintai oleh ayahnya lebih dari saudara-saudaranya yang lain. Dan ini pula yang menjadikan saudara-saudara itu iri hati dan dengki kepadanya.
Jika kita kaitkan dengan Palestina, khususnya Al-Quds yang di dalamnya berdiri Masjid Al Aqsa adalah memang wilayah yang diberkahi (baarakna hawlahu). Keberkahan tertinggi dari wilayah ini menurut para ulama adalah karena di sinilah Allah mengutus banyak para nabi dan rasul-Nya.
Selain itu tentunya karena dari keseluruhan wilayah Timur Tengah daerah ini adalah tempat tersubur dan terindah dari segi alamnya. Belum lagi di sinilah tempat-tempat bersejarah para umat beragama, khususnya mereka yang berafiliasi dengan Ibrahim AS (Abrahamic faiths).
Keberkahan dan kelebihan Palestina ini jugalah yang menjadikan banyak orang yang ingin memilikinya. Sehingga sangat wajar jika banyak pihak yang memiliki kepentingan atau minimal iri hati kepada bangsa Palestina yang terpilih sebagai penghuni wilayah yang penuh barokah itu.
Kesuburan dan keindahan wilayah Palestina itu juga persis sama dengan kesuburan akal (kepintaran) orang-orang Palestina. Di antara sekian banyak warga Timur Tengah, warga Palestina memiliki akal di atas rata-rata. Penghafal Al-Qur’an terbanyak ada di wilayah Gaza misalnya, dengan segala keterbatasan fasilitas mereka.
Kedua, ditelantarkan bahkan dibinasakan oleh saudara-saudara sendiri.
Ketika iri hati dan hasad atau dengki mencapai puncaknya maka mata akan menjadi buta. Semua akan dilakukan, tidak saja ingin memiliki kelebihan pada orang lain. Tapi yang lebih jahat lagi adalah keinginan atau tepatnya terasuki nafsu serakah untuk membinasakan orang yang memiliki kelebihan atau kenikmatan itu. Akan dilakukan apa saja agar sang pemiliki kelebihan binasa sehingga nikmat atau kelebihan itu, kalaupun tidak dimilikinya hancur binasa bersama pemiliknya.
Itulah yang terjadi kepada Yusuf AS. Iri hati dan hasad saudara-saudaranya menjadikannya kehilangan kendali kemanusiaan mereka sehingga mereka bertekad membinasakannya. Tentu dengan harapan perhatian dan cinta ayahnya dapat mereka raih atau minimal mereka tidak lagi melihat cinta itu terjatuh ke Yusuf AS. Kita pun mengenal dalam sejarah bahwa Yusuf pada akhirnya dicampakkan ke dalam sumur hingga terselamatkan oleh musafir saudagar dari Syam dan kemudian dijual sebagai budak di Mesir.
Cerita ini menggambarkan situasi Palestina saat ini. Tanpa menyebutkan nama, baik orang atau sekelompok orang bahkan negara, Palestina sedang dicampakkan oleh saudara-saudaranya sendiri. Betapa banyak di antara mereka yang mengaku saudara dengan Palestina, termasuk saudara seiman, yang di saat berkepentingan dengan bangga menjual nama Palestina. Tapi di balik layar melakukan kolaborasi untuk memenuhi nafsu syahwat kepentingan masing-masing tanpa peduli lagi dengan kepentingan Palestina.
Inilah gambaran sebagian besar dunia Islam dan Timur Tengah. Mereka berangkulan dengan orang-orang yang jelas ingin menghancurkan Palestina demi kepentingan sempitnya. Atau karena memang telah kehilangan “muru’ah” atau harga diri sama sekali.
Ketiga, harapan di akhir semua itu ada keberkahan dan kenikmatan besar.
Setelah melalui semua drama yang penuh misteri itu, Yusuf pada akhirnya diberikan keberkahan dan kenikmatan besar. Selain memang diangkat menjadi nabi, keberkahan terbesarnya, juga diangkat menjadi penguasa Mesir. Kekuasaan yang bukan sekedar kekuasaan. Tapi kekuasaan yang penuh barokah dan kegunaan bagi negeri sendiri maupun orang lain.
Di sinilah harapan kita bersama, semoga Palestina setelah melalui berbagai cobaan itu akan diangkat oleh kekuasaan samawi. Dikembalikan oleh Allah kepada keberkahan sejatinya. Mendapatkan kemerdekaannya dan menjadi baldah thoyyibah wa Rabbun Ghafur.
Tapi pada akhirnya semua itu juga akan ditentukan oleh orang-orang Palestina sendiri. Sebagaimana Yusuf yang semakin solid dalam iman di tengah badai itu, orang-orang Palestina juga harusnya demikian, solid dalam iman dan akidah mereka di tengah berbagai badai yang mereka hadapi.
Bukan seperti yang sering kita dengarkan bahwa Palestina baru saja diberikan sebongkah tanah untuk dijadikan embrio negara Palestina (West Bank dan Ghaza) mereka sudah berebut kekuasaan. Mereka saling mengeliminir di antara mereka sendiri.
Bukankah masanya bagi semua pihak di Palestina untuk menauladani Yusuf? Saling memaafkan sesama saudara atas kekhilafan dan dosa masing-masing, demi menyongsong masa depan yang ceria. Masanya untuk sadar bahwa Palestina dan masa depan mereka tidak harus ditentukan oleh orang lain. Tidak perlu seperti Israel yang harus disuapi oleh Donald Trump. Tapi harusnya mereka rela mampu mengorbankan nafsu kelompok menuju kepada kebersamaan dalam ukhuwah Islamiyah dan wathaniyah yang solid. Semoga!
*) Imam Shamsi Ali adalah Presiden Nusantara Foundation