Oleh Anwar Hudijono
PWMU.CO – Entahlah, menulis yang berkaitan dengan Setya Novanto (Setnov) seperti tidak ada jenuhnya. Sebenarnya ketika dikabarkan Setnov mencret-mencret sampai lebih kurang 20 kali menjelang dia dibawa ke sidang Pengadilan Tipikor, Rabu (13/12), saya sudah ingin menulis. Tetapi saya urungkan karena orang terkena musibah mencret-mencret kok diekspose.
Bisa dipastikan kalau menulis topik itu, saya akan berulang kali menulis kata “mencret-mencret”. Karena banyak mengulang kata mencret-mencret, berpotensi mengganggu yang lagi membaca tulisan saya sambil makan rawon atau soto, apalagi bubur ayam. Kalau makan singkong atau pisang goreng tidak terlalu berserempetan karena wungkul.
Tetapi, akhirnya saya lepaskan momentum “mencret-mencret” untuk kembali menulis Setnov dengan cantolan putusan PN Jakarta Selatan, Kamis (14/12) yang menolak permohonan praperadilan Setnov.
Soal mencret-mencret hanya saya catat: Setnov orang kuat. Betapa tidak, meski mencret-mencret 20 kali tapi dokter menyatakan sehat dan bisa diperiksa di pengadilan.
Catatan itu menggunakan keyword mencret. Tulisan dengan keyword mencret sebelumnya adalah tentang seseorang yang mencret-mencret saat mengalami sakaratul maut. Mungkin saking beratnya. Dengan begitu pembahasan soal mencret-mencret diakhiri sampai di sini.
###
Saya bisa bayangkan betapa sedihnya Setnov menyikapi kekalahannya di praperadilan ini. Mungkin putusan ini jauh dari keyakinannya karena pada praperadilan sebelumnya dia menang. Kesedihan ini seperti menambah timbunan kesedihan yang sudah ada. Setelah kesedihan karena mobil yang ditumpanginya menabrak tiang listrik secara sepihak, kemarin dia resmi lengser dari kursi Ketua Umum Golkar.
Selama ini, eksistensi Setnov di Golkar itu layaknya sebuah layangan yang supergagah dan indah dinaikkan ke angkasa. Diberi properti srowangan yang bisa mendengingkan suara yang keras membelah angkasa. Layangan yang bukan hanya siap diadu dengan layangan lain, tapi juga siap diadu dengan burung elang, bahkan dengan pesawat jet F-16 sekalipun.
Tetapi, ketika layangan itu mulai biring (miring) ke kiri bahkan oling, bukan ditolong untuk diberi sinthingan (bandul) melainkan benangnya langsung diputus. Sehingga, layangan itu terbang tanpa arah sesuai semau gue angin. Karena tidak terkendali maka tempat jatuhnya juga tidak bisa dipastikan. Bisa jatuh di bantal, nyantol di pohon klampis berduri, dan yang paling sial kalau jatuh di comberan pasar ikan.
Sebelum Setnov, yang bernasib miri-mirip adalah Pak Harto. Selama 32 tahun Pak Harto adalah layangan Golkar. Begitu gagah perkasa. Indah memesona. Tidak ada layangan yang mampu menandingi. Jangankan bersabung, unggul ketinggian saya tidak mampu. Pak Harto layaknya layangan dengan srowangan yang suaranya menyelimuti angkasa seluruh Indonesia, sedang layangan lain cuma layaknya daun gadung kering yang dinaikkan dengan tali serat gedebok.
Tetapi ketika Pak Harto agak miring dan sedikit oling bukan ditolong tetapi malah dipedot talinya. Maka, saat itu berbiaklah istilah politik brutusisme Golkar.
Apakah politik brutusisme Golkar juga bisa dikaitkan Setnov, biarlah Golkar sendiri yang menjawab. Dan biasanya Golkar itu tidak ada matinya, selalu punya jawaban. Harap mafhum, Golkar itu paling tua, paling berpengalaman. Selalu berada di pusaran ruwet negara ini.
Dalam persepsi yang galib, politik brutusisme itu berkonotasi pengkhianatan, tega lara tega pati. Tidak ada setia kawan. Apalagi ketika politik masih bernuansa ideologis di mana ada ikatan-ikatan primordialisme masih kuat.
Tetapi bukankah ini era “the end of ideology”, merujuk tesis Daniel Bell. Politik begitu rasional. Dan dalam rasionalisme politik itu yang berlaku adalah kalkulasi rasional seperti untung-rugi, mengeruk rente. Begitu menggejalanya politik transaksional di seluruh tingkatan dan aspek politik.
Maka, harus hati-hati pemimpin partai politik yang mencoba mempertahankan paradigma era politik ideologi. Seperti mengikat partai dengan klaim trah atau ahli waris. Melegitimasi diri dengan klaim founding (pendiri). Bisa saja tiba-tiba akan menjadi layangan yang diputus talinya sehingga kabur kanginan dengan nasib yang terlunta-lunta dan nista.
Saat ini memang the end of Setnov, tetapi bisa jadi justru awal tradisi politik baru berupa “setnovisasi” pimpinan partai. (*)