PWMU.CO – Ilmu pengetahuan dan moral tidak mesti berjalan paralel. Ilmu pengetahuan terus bergerak maju karena bersifat kumulatif: makin lama makin maju. Ilmu pengetahuan tidak pernah mengenal berhenti, apalagi surut ke belakang. Yang ada hanyalah ritme: cepat atau lamban. Sebaliknya, moral mengenal pasang-surut. Masyarakat seribu tahun yang lalu bisa jadi lebih bermoral dari sekarang. Nabi Muhammad saw mengatakan bahwa sebaik-baik zaman adalah zamanku. Padahal, belum berkembang ilmu akuntansi, ilmu administrasi negara, atau trias politika. Tingkat ekonomi pun masih rendah. Nabi mengatakan demikian karena keunggulan moral.
(Baca: Risalah Prof Syafiq Mughni: Kisah Teladan Nur Muhammad)
Ilmu pengetahuan dan moral tidak selalu berjalan seiring. Kesenjangan antara ilmu pengetahuan dan moral bisa disaksikan dalam sejarah bangsa kita. Dulu ada sebuah partai bernama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Ini partai santri, yang dipimpin oleh para ulama dan intelektual didikan Barat. Pengamat umumnya sepakat akan keunggulan moral tokoh-tokoh Masyumi.
Ketaatan mereka terhadap agama tergambar dalam kebersihan moral sebagai politisi. Ini sangat mengagumkan. Ada juga sebuah partai bernama PSI (Partai Sosialis Indonesia). Ini partai sekuler, dipimpin oleh orang-orang sekuler, para intelektual didikan Barat. Secara moral partai ini mirip Masyumi.
Banyak orang kagum akan keunggulan moral mereka: berpartai atas dasar idealisme dan bukan pragmatisme, tidak serakah dan rakus walaupun punya kesempatan untuk korupsi. Tidak korup bukan karena negara masih miskin. Korupsi justru lebih besar di negara-negara miskin. Di perguruan tinggi, diajarkan banyak ilmu, seperti ilmu hukum, ilmu administrasi negara, dan ilmu akuntansi. Baca sambungan di halaman 2 …