Tujuannya agar orang lebih pandai mengelola negara. Bahkan pendidikan itu mencapai program doktor. Tak terhitung energi dan biaya yang dikeluarkan. Berapa uang rakyat pembayar pajak yang dihabiskan untuk gaji presiden, menteri, lembaga penegak hukum, dan wakil rakyat. Tentu jumlahnya sangat fantastis dibanding dengan kondisi rakyat Indonesia yang hidup setengah mati. Itu belum yang dikorupsi.
Bisa difahami mengapa pemberantasan korupsi itu gagal. Sebab pemerintah, penegak hukum, dan wakil rakyat, berperilaku korup. Jangan harap mereka mau memberantas korupsi dengan sepenuh hati. Seorang teman saya yang akrab sejak mahasiswa pernah mengatakan, “Jika Anda ingin melihat ketidakadilan, maka lihatlah lembaga pengadilan.” Nasib bangsa Indonesia memang lagi sial karena memiliki pemimpin yang korup.
(Baca juga: Bayangan Sampai Kenyataan)
Ketika pemimpin bangsa ini tidak lagi bisa dipercaya, masyarakat punya inisiatif: membangun gerakan antikorupsi. Sejak tahun 1970-an, terus bermunculan gerakan antikorupsi. Tetapi, para pemimpin negara tetap saja bangga menjadi koruptor. Pada tahun awal 2000-an, Muhammadiyah, NU dan Kemitraan membangun kerjasama memberantas korupsi.
Ternyata gerakan moral itu tidak mampu menembus hati nurani pejabat negeri ini. Korupsi sesungguhnya merupakan musuh bangsa dan negara yang paling berbahaya. Korupsi jauh lebih berbahaya dari terorisme. Sayangnya, kita lebih bersemangat memburu teroris, sementara koruptor diburu hanya jika berguna untuk tebar pesona. Korupsi juga lebih berbahaya dari kemiskinan dan kebodohan.
(Baca juga: Syafiq: Di Turki, Subuh pun Serasa Jumatan)
Sangat sedikit uang negara yang dijarah oleh kaum miskin dan bodoh. Penjarah terbesar uang negara adalah orang-orang kaya dan para penguasa. Nasib Indonesia memang tidak beruntung. Dalam sebuah pertemuan dua bulan yang lalu di Gedung Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, berkumpullah tokoh-tokoh masyarakat untuk berdiskusi tentang nasib negara yang sedang naas. Mereka sangat prihatin dan banyak berharap dari Muhammadiyah.
Dalam bahasa mereka, tinggal Muhammadiyah satu-satunya gerakan non-pemerintah yang memiliki massa besar yang bisa diharapkan untuk mencerahkan bangsa ini. Mungkin ini berlebihan, tapi itulah harapan mereka.
Akankah Muhammadiyah menjadi Sisifus yang digambarkan oleh Albert Camus (1913-1960)? Sisifus adalah tokoh dalam mitologi Yunani yang dikutuk untuk selama-lamanya karena mengulangi tugas yang sia-sia. Ia mendorong batu karang ke puncak gunung, namun pada akhirnya batu itu bergulir jatuh kembali. Albert Camus menyimpulkan, “Perjuangan itu sendiri sudah cukup untuk mengisi hati manusia. Kita harus membayangkan bahwa Sisifus berbahagia.”
Oleh Prof Dr Syafiq Mughni, Ketua PP Muhammadiyah 2010-2020.