PWMU.CO – Di Pare Kediri, ternyata terdapat destinasi wisata yang menarik dan penuh tantangan. Namanya Goa Surowono. Ini bukan goa biasa, karena untuk menyusurinya harus berendam dalam air dalam celah sempit dan gelap.
Berikut catatan perjalanan yang penuh ketegangan oleh Kontributor PWMU.CO Ria Pusvita Sari. Selamat menikmati! Redaksi.
***
Hari ketiga kegiatan One Week English Holiday (OWEH) di Kampung Inggris, Pare, Kediri, menjadi pengalamanku yang tak terlupakan.
Pasalnya, outbound learning yang manarik telah dijadwalkan di hari ketiga, kegiatan English Camp SD Muhammadiyah Manyar Gresik itu.
Berada di depan goa yang terletak di Desa Canggu, Pare, Kediri sekilas aku tak melihat sesuatu yang eksotis. Hal ini lantaran goa tersebut terlihat hanya seperti cekungan tanah. Pun tidak ada gapura penanda di sekitarnya.
Namun, karena sebelumnya kudengar banyak tantangan di dalamnya, maka aku harus membuktikannya.
Cukup dengan membayar tiket murah meriah Rp 1.000 , aku dan sejumlah siswaku sudah bisa memasuki goa alam nan menantang itu.
Setelah meninggalkan tas di tempat penitipan, aku mulai bersiap menyusuri goa yang belum tahu pasti seberapa panjangnya.
“Saya juga belum tahu pasti panjang goa ini karena ada banyak pintu di dalamnya yang bercabang. Namun nanti kita hanya melewati 3 pintu saja. Ya… kira-kira sekitar 500 meter lah,” jelas salah satu pemandu yang mendampingi.
Tidak seperti bentuk goa pada umumnya, dengan mulut goa mengangga pada sebuah tebing. Goa yang satu ini, letaknya jauh di bawah tanah. Dan juga full pohon bambu yang konon adalah rumah ideal para mahluk ‘dunia lain’. Hiiiihhh…! Benar-benar tidak seperti goa pada umumnya.
“Mr Tom! How is the condition down there?” teriakku pada Mr Tom siswa yang sudah berada di mulut goa.
“There are many little fish here. Don’t worry!” jawabnya mencoba menenangkanku. Mr Tom yang bernama lengkap Ahmad Busytomi MZ adalah tutor dari Cambridge English Course.
Aku menyusuri tangga yang dibuat manual dan disemen tipis apa adanya untuk mencegah longsor dan licin. Anak tangga ini mengarah menuju ke mulut goa yang berupa sebuah ceruk sumur sedalam kurang lebih lima meter di bawah tanah.
Di dekat anak tangga ini, tergeletak sebuah batu yang tampak pernah ditatah. Sedangkan di bawah sana, airnya sungguh bening!
Berada di dalam gua, lamat-lamat masih terdengar suara percakapan orang yang berada di atas. Makin ke dalam, yang terdengar hanya suara pemandu memberi instruksi. Juga suara kecipak air karena pergerakan langkah kami.
Perjalanan menyusuri goa berlangsung menegangkan. Dinginnya air yang sepinggang orang dewasa itu mulai merasuk ke dalam tubuh. Aku berada tepat di belakang Mr Tom. Suasana senyap begitu terasa. Aku berjalan pelan di dalam arus air. Semakin ke dalam, goa semakin gelap.
Dalam suasana dag dig dug itu, tak jarang aku berdoa semoga bisa menemui pintu berikutnya yang ditandai dengan cahaya terang mentari yang menerobos masuk perut goa.
“Ustadzah… I can not see anything! So dark here!” teriak Fausta, siswa kelas 4 yang berada di belakangku. Ia tak dapat melihat apapun karena kondisi goa yang semakin gelap.
“It’s okay, don’t worry,” jawabku singkat mencoba menenangkan, padahal aku sendiri pucat.
“Don’t walk too fast, Mr Tom,” pintaku supaya ia tidak berjalan terlalu cepat.
Dibalik nuansa gelapnya, aku terkesima dengan sensasi aliran sumber mata air yang jernih setinggi 1 meteran. Seraya berjalan, aku mendengar bunyi-bunyian dari tetesan dinding goa. Bagaimana tidak, konstruksi goa ini hanya selebar tubuh orang dewasa dan tingginya hanya sekitar 165 cm.
Goa ini mempunyai lima lorong dan setiap lorong memiliki cara berbeda saat menyusurinya.
Menyusuri lorong pertama, air masih setinggi pinggang orang dewasa. Di lorong pertama ini aku masih bisa berjalan normal, airpun mengalir sangat deras. Sepanjang perjalanan, rembesan air keluar dari dinding dan atap goa. Tentu ini menjadikanku basah kuyup seketika. Setelah berjalan kurang lebih 200 m, tibalah aku di pintu lorong kedua. Setiap lorong dipisahkan dengan sebuah pagar besi.
“Hello, Vita. Are you still alive?” tanya Mr Tom kepadaku setengah bercanda. Dia memastikan apakah aku masih berada dalam barisan kelompok kami. Mungkin dia heran, karena sejak masuk lorong pertama, aku tak banyak berkomentar.
“Yes, ofcourse. I’m here. But I’m scare,” jawabku singkat sambil mendekap tubuhku sendiri. Meski aku merasa takjub akan goa ini, tapi rasa takut itu tetap tak mau pergi.
Menyusuri lorong kedua ini, aku harus lebih berhati-hati dan berjalan merunduk agar kepala tak terantuk langit-langit goa yang rendah. Karena berjalan merunduk kurang lebih 200 m itulah, air membasahi tubuh hingga ke bagian dada.
Untuk menyusuri lorong ketiga yang panjangnya kurang lebih 100 m, aku harus berjalan sembari setengah berjongkok karena lorong kian sempit dan atap goa yang sangat rendah, sehingga ketinggian air mencapai bahu orang dewasa.
“Oh no! I almost sink!” teriak Youngkie, siswa kelas 4 yang berada tidak terlalu jauh dariku.
“Oh..me too..!” teriak beberapa siswa yang lain.
Rupanya mereka merasa akan tenggelam ketika menyusuri lorong ketiga ini. Namun setelah berjalan beberapa meter, mereka mulai menikmatinya.
“Ustadzah, it’s wonderful. I’m very excited here,” celoteh Alvin, siswa kelas 5 yang berada di urutan ke enam di belakangku.
“Yup, enjoy it!” jawabku sembari mengacungkan jempol padanya.
Setelah keluar dari lorong ketiga, dengan basah kuyup, aku dan rombongan menaiki anak tangga keluar goa. Pemandu tidak menyarankan untuk menyusuri lorong keempat dan kelima karena cukup berbahaya.
“I will remember this moment in my life,” gumamku dalam hati. Pengalaman yang seru ini akan membekas dalam hidupku.
Setengah tak percaya aku bisa melewati semuanya, meski dengan ketakutan yang terus melintas di benakku. But, it’s amazing! Pengalamanku hari itu (20/12/17) akan menjadi pelajaran tersendiri dalam hidupku.
Kereta kelinciku mulai meninggalkan goa yang dahulu merupakan sebuah sistem kanal atau pengairan yang dibangun pada masa Kerajaan Kediri.
Kini, goa itu sebagai salah satu tempat wisata alam yang menegangkan di Kediri. Tertarik menyusuri goa ini? Pastikan ada pemandu yang mendampingi. Hanya perlu memberi tips Rp 2 ribu rupiah per orang. Tapi Anda boleh memberikan lebih. He.. he..
Tak kalah penting, bawalah baju ganti. It must be! (*)