Oleh Anwar Hudijono
PWMU.CO – Sebelum meninggalkan Masjid Al Aqsha saya sempat melihat galian di balik tembok mihrab atau sisi barat masjid. Galiannya seperti kolam renang panjang. Penggalian dilakukan oleh kelompok arkeolog Israel dengan dalih mencari jejak kuil atau Haikal Nabi Sulaiman atau Solomon Temple yang dibangun sekitar 960 SM. Dari galian itu akan diteruskan menggali tanah persis di bawah Masjid Al Aqsha.|
Penggalian itu dihentikan sementara karena mendapat protes umat Islam seluruh dunia karena bisa mengancam Masjid Al Aqsha. Penggalian itu pada dasarnya memang bertujuan agar Masjid Al Aqsha roboh.
(Baca Dari Surabaya ke Jerusalem (1): Bersimpuh di Mihrab Al Aqsha)
Bayangkan jika galian itu mepet fondasi masjid dan curam sangat mungkin tanah akan longsor yang diikuti fondasi juga longsor pelan-pelan. Apalagi jika diteruskan di bawah bangunan masjid. Akalnya memang licin layaknya welut kecemplung oli.
Lebih dari itu, tujuan di balik permukaan sebenarnya adalah strategi Israel melihat posisi dan kadar reaksi lawan. Strategi itu seperti strategi perang China klasik dari Sun Zu: menggebah rumput untuk membangunkan ular. Test of water.
Strategi yang substansinya sama adalah pembakaran Masjid Al Aqsha dengan menggunakan tangan kelompok Yahudi Ultra Ortodoks tahun 1969. Jelas rezim Israel merestui atau ada di belakang kelompok itu.
Sebelum ada pembakaran, tentara Israel dalam status siap perang. Karena memperkirakan, jika masjid itu dibakar maka tentara dari beberapa negara Arab akan bersama-sama menyerbu Israel dari pelbagai penjuru.
Ternyata perkiraan itu tidak terjadi. Negara-negara Arab hanya teriak-teriak protes bersama umat Islam seantero jagat. Perdana Menteri Israel Golda Meir berani mengambil kesimpulan: negara-negara Arab sudah kacrek.
Istilah kacrek itu seperti ayam jago yang kalah di arena sabung ayam, kemudian ketika hendak diadu lagi ketemu lawan yang sama di kesempatan lain, langsung lenyap nyalinya, tulang belulangnya seperti mreteli, jika bisa ngomong mungkin akan memilih disembelih untuk mayoran saja daripada kalah lagi dengan menanggung malu dan hina. Arab keok dalam perang melawan Israel pada tahun 1948, 1956, dan 1967.
Pembakaran masjid itu sebenarnya juga untuk mengalihkan perhatian dunia terhadap langkah-langkah strategis Isrel seperti memperluas tempat pemukiman bagi warga Yahudi di Jerussalem, Tepi Barat dan Jalur Gaza atau di wilayah Palestina.
Menarik bangsa Israel yang diaspora di seluruh penjuru dunia untuk merebut dan menetap di wilayah Palestina yang mereka sebut Tanah Perjanjian atau wilayah geografis yang dijanjikan Tuhan untuk bangsa Israel. Mereka tidak merasa telah menganeksasi tanah milik bangsa Palestina.
Ketika akhirnya dunia sadar telah terjebak oleh strategi pengalihan isu oleh Israel, kemudian melakukan protes terhadap tindakan penjajahan itu, Israel menerapkan jurus micek (seolah tidak tahu), mbudek (seolah tidak mendengar) dan ndablek (tak peduli, emang gue pikirin) atau strategi MMD.
Jurus MMD ini selalu dipegang secara kuat dan konsisten. Coba lihat sudah berapa puluh resolusi PBB yang berkaitan dengan Israel hampir tidak ada yang digubris.
Hampir setiap hari dikecam, diprotes, dari pelosok dunia tetapi tetap MMD. Di dalam MMD itu terkadang terkesan mengalah, tetapi sebenarnya tidak ada kata menyerah atau mengalah bagi Israel. Yang ada diam untuk kemudian bergerak lebih cepat. Mundur untuk membuat lompatan. Mengalah bukan untuk menang tanpo ngasorake tetapi mengalah untuk kemudian membalas dendam dengan keras.
Stretegi MMD di dalam konflik lebih banyak dilakukan dengan silent operation. Dengan soft war. Tidak melakukan serangan militer secara nyata meskipun mampu dilakukan. Pertimbangannya perang terbuka biayanya lebih besar. Maka, jangan heran kalau biro inteljen Israel Mossad merupakan kekuatan inteljen dunia nomor wahid.
Contohnya, kalau saja Israel perang terbuka melawan Irak semasa rezim Sadam Hussein pasti akan menelan biaya dan korban besar. Maka Israel memilih strategi nabok nyilih tangan AS dan Inggris serta sekutunya untuk menumbangkan Sadam Hussein plus meluluhlantakkan Irak.
Demikian juga terhadap Presiden Libya Moammar Kaddafi. Kaddafi dikenal sangat keras terhadap Israel. Tetapi Israel tidak mau konfrontasi langsung karena Kaddafi sangat kuat dan sangat mungkin mengundang negara Arab lain campur tangan. Melalui operasi “demokrasi gombal” diciptakan kekuatan-kekuatan masyarakat bersenjata untuk menumbangkan Kaddafi. Dan ternyata nasib Irak dan Libya serupa yaitu hancur berkeping-keping.
Untuk Syuriah yang tidak pernah mau berdamai dengan Israel, bahkan membantu kekuatan perlawanan Palestina seperti Faksi Al Fatah, Hammas, Hezbollah, Israel menciptakan ISIS. Sasaran ISIS bukan hanya Syuriah, Irak tetapi sebenarnya juga mengincar Turki.
Israel pasti terus melakukan silent operation terhadap negara-negara yang bersikap keras terhadap dirinya seperti Iran. Bukan mustahil Indonesia juga masih sasaran incaran. Karena Indonesia termasuk konsisten mendukung perjuangan rakyat Palestina.
Tak pernah mengalah juga ditunjukkan dalam kasus penggalian situs Haikal Sulaiman diam-diam. Sampai tahun 2016 tercatat sekitar 60 kali dilakukan. Bahkan diduga dilanjutkan lagi sampai tahun 2017. Diduga sudah mulai menggali persis di bawah Masjid Al Aqsha. Orang luar memang sulit mengakses karena dijaga tantara sangat ketat.
Demikian pula dapat dipastikan, Israel tetap terapkan jurus MMD dalam menghadapi penolakan PBB terhadap pemindahan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem. Israel nabok nyilih tangan dengan menggunakan Amerika Serikat untuk melawan dunia di forum PBB.
Biarpun PBB menolak, Israel akan diam-diam tetapi pasti terus menyiapkan Jerussalem sebagai ibu kotanya yang baru. Israel akan segera membuat isu baru untuk mengalihkan perhatian dunia atas langkahnya itu sehingga tiba-tiba Jerussalem sudah niscaya menjadi ibu kotanya.
Mungkin Israel baru berhenti micek, mbudek, dan ndablek manakala negara itu sudah diluluhlantakkan seperti zaman Raja Titus dan Nebukadnezar sehingga harus membangun Tembok Ratapan Kedua. (*)