PWMU.CO – Dalam kehidupan umat Islam, posisi Nabi Muhammad saw sangat mulia. Umat harus menyintai dan menjadikannya model manusia paripurna. Nabi Muhammad menjadi inspirasi yang abadi. Adalah sangat wajar jika penulis-penulis Muslim memberikannya sifat-sifat mulia, seperti al-sayyid (yang mulia), al-habib (yang tercinta), al-mushthafa (yang terpilih), dan al-za’im (pemimpin). Sifat-sifat mulia lainnya juga dilekatkan kepadanya, seperti shidq (kejujuran), amanah (kepercayaan), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathanah (kecerdasan).
(Baca juga: Syafiq: Di Turki, Subuh pun Serasa Jumatan)
Semua sifat itu memiliki dimensi praktikal, yakni keteladanan, yang harus ditiru oleh setiap Muslim, tidak hanya kepercayaan. Di samping itu ada penghormatan yang hanya bersifat kepercayaan. Dalam tradisi mistik (tashawwuf), penghormatan seperti itu banyak ditemukan. Ada contoh keyakinan tentang Nabi Muhammad dalam kerangka kosmologi (asal usul dunia), yakni Nur Muhammad (Cahaya Muhammad). Dalam keyakinan itu dinyatakan bahwa Cahaya Muhammad adalah asal-usul dunia ini. Al-Hallaj (w. 922 M) menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah sebab dan sekaligus tujuan penciptaan alam ini. Ia mengutip sebuah hadits qudsi palsu yang berbunyi, laulaka maa khalaqtu al-aflak.
Artinya, jika bukan karena engkau, Aku tidak akan menciptakan semesta ini. Sahl al-Tustari (w. 896 M) berbicara tentang tiga cahaya Tuhan. Yang pertama adalah Muhammad. Al-Barzanji tiga abad yang lalu dalam qasidahnya yang sangat terkenal di masyarakat karena sering dibaca dalam upacara maulid Nabi, menyatakan bahwa Nur Muhammad itu diciptakan dua ribu tahun sebelum Nabi Adam. Ada juga versi lain tentang Nur Muhammad. Seorang sufi kontemporer, Maulana Syaikh Hisyam Kabbani al-Rabbani, mengajarkan, “Dari Nur Muhammad, Allah menciptakan sebuah lampu jamrut hijau dari cahaya, dan dilekatkan pada pohon itu melalui seuntai rantai cahaya. Kemudian Dia menempatkan Ruh Muhammad saw di dalam lampu itu dan memerintahkannya untuk memujanya dengan al-Asma’ al-Husna.” Selanjutnya ia menyatakan bahwa Ruh Muhammad melakukannya dan mulai membaca setiap satu dari nama itu selama 1.000 tahun.
Ketika sampai pada nama al-Rahman, pandangan al-Rahman jatuh kepadanya dan ruh itu mulai berkeringat karena kerendahan hatinya. Tetesan keringat jatuh darinya, sebanyak yang jatuh itu menjadi nabi dan rasul, setiap tetes keringat beraroma mawar berubah menjadi ruh seorang Nabi. Mereka semua berkumpul di sekitar lampu di pohon itu, dan Allah berkata kepada Nabi Muhammad, “Lihatlah ini sejumlah besar nabi yang Aku ciptakan dari tetesan keringatmu yang menyerupai mutiara.” Mematuhi perintah ini, dia memandangi mereka.
(Baca juga: SISIFUS)
Ketika cahaya mata itu menyentuh menyinari objek, maka ruh para nabi itu sekonyong-konyong tenggelam dalam Nur Muhammad saw dan mereka berteriak, “Ya Allah, siapa yang menyelimuti kami dengan cahaya?” Allah menjawab, “Ini adalah Cahaya dari Muhammad kekasih-Ku, dan kalau kamu akan beriman kepadanya dan menegaskan risalah kenabiannya, Aku akan menghadiahkan kepada kamu kehormatan berupa kenabian.” Dengan itu semua ruh para nabi itu menyatakan iman mereka kepada kenabiannya, dan Allah berkata, “Aku menjadi saksi terhadap pengakuanmu ini,” dan mereka semua setuju.
Kemudian ruh yang murni dan suci itu kembali melanjutkan bacaan Asma ul Husna lagi. Ketika dia sampai kepada nama al-Qahhar, kepalanya mulai berkeringat sekali lagi karena intensitas dari al-Qahhar itu, dan dari butiran keringat itu Allah menciptakan ruh para malaikat yang diberkati.
(Baca juga: Bayangan Sampai Kenyataan)
Dari keringat pada mukanya, Allah menciptakan ‘arsy, lauh mahfudh, qalam, matahari, bulan dan bintang-bintang. Bagi kita, Nabi Muhammad saw adalah teladan yang harus kita contoh. Keyakinan apapun yang berkaitan dengan Nabi haruslah bersumber dari al-Quran atau Hadits.
Di luar itu hanya spekulasi atau imajinasi, yang dalam bahasa Antropologi disebut dengan mitos (myth), dan dalam bahasa Islam disebut dengan takhayyul (hayalan) atau khurafat (cerita yang sumbernya tidak jelas). Pemikiran spekulatif atau imajiner seperti itu menarik untuk dikaji, tetapi tidak perlu dipercaya. (*)
Oleh Prof Dr. Syafiq Mughni, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2010-2015 dan 2015-2020.