PWMU.CO – Awal Ramadhan 1437 H akan jatuh pada Hari Senin, tanggal 6 Juni 2016. Begitulah salah satu isi maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah bernomor 01/MLM/I.0/E/2016 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1437 Hijriah. Berdasarkan maklumat yang ditandatangani Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, dan Sekretaris Umum Abdul Mu’ti itu, maka warga Muhammadiyah sudah akan memulai shalat tarawih pada hari Ahad malam, 5 Juni 2016.
Dalam maklumat tersebut, sebagaimana dikatakan Wakil Ketua PWM Jatim, Nadjib Hamid MSi, disebutkan bahwa ijtimak jelang Ramadhan terjadi pada hari Ahad Legi, 5 Juni 2016 M pukul 10:01:51 WIB. Tinggi Bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta = +04* 01’ 58’ (hilal sudah wujud), dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat terbenam Matahari itu Bulan berada di atas ufuk. “Sehingga 1 Ramadhan 1437 H jatuh pada hari Senin Pahing, 6 Juni 2016 M,” tegasnya.
Sementara untuk Idul Fitri yang jatuh 1 Syawal, tamabah Nadjib, ijtimak jelang Syawal 1437 H terjadi pada hari Senin Kliwon, 4 Juli 2016 M pada pukul 18:03:20 WIB. Sementara tinggi Bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta masih dalam angka -01* 19’ 13” (hilal belum wujud), dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat terbenam Matahari itu Bulan berada di bawah ufuk. “1 Syawal 1437 H jatuh pada hari Rabu Pahing, 6 Juli 2016 M. Sehingga bulan Ramadhan 1437/2016 ini berumur tepat 30 hari.”
(Baca: Ramadhan, Lebaran, dan Idul Adha 2016 akan Bersamaan dan Panduan Hisab dan Tuntunan Ibadah Bulan Ramadhan)
Berdasarkan kriteria wujudul-hilal, sebagaimana yang dikemukakan Wakil Ketua MTT PP Muhammadiyah, Oman Fathurrahman SW MAg, ada tiga prosedur yang harus dilakukan untuk menentukan awal bulan Qamariyah. Pertama, menghitung kapan terjadinya ijtimak antara Bulan dan Matahari.
(Baca: Hisab Tidak Bertentangan dengan Sunnah, tapi Sangat Selaras)
Kedua, membandingkan antara saat terjadinya ijtimak dengan saat terbenam Matahari mana yang lebih dahulu. Apakah terbenam Matahari yang lebih dulu atau ijtimak Bulan dan Matahari yang lebih dulu. Jika terbenam Matahari yang lebih dulu maka perhitungan berikutnya untuk menentukan kriteria yang ketiga, yakni pada saat terbenam Matahari Bulan belum terbenam, harus dilakukan pada saat terbenam Matahari hari berikutnya, yakni terbenam Matahari yang menyusul terjadinya ijtimak Bulan dan Matahari.
Langkah yang ketiga adalah menentukan apakah pada saat terbenam Matahari Bulan belum terbenam atau sebaliknya sudah terbenam duluan. Untuk mengetahui apakah Bulan sudah terbenam atau belum cukup dengan menghitung posisi atau tinggi tepi piringan Bulan bagian atas dari ufuk mar’i (horison). Apabila tepi piringan atas Bulan tersebut berada di atas ufuk mar’i maka berarti Bulan belum terbenam, lalu ditetapkan mulai malam itu masuk bulan baru Qamariyah.
Sebaliknya jika tepi piringan atas Bulan berada di bawah ufuk mar’i maka berarti Bulan sudah terbenam duluan, oleh karena demikian maka ditetapkan bahwa malam itu dan keesokan harinya belum masuk bulan baru Qamariyah, melainkan masih hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung. (kholid)