PWMU.CO – Manusia memang makhluk paling sulit diterka. Bila ia ketawa belum tentu berarti gembira. Orang mengangguk ternyata tidak selalu setuju.
Malik bin Dinar adalah seorang sufi yang hidup pada masa khalifah Bani Umaiyah. Wajahnya tampan dan kekayaannya cukup melimpah. Waktu itu dia belum memasuki dunia sufi. Ia tinggal di Damaskus, tempat khalifah Muawiyah membangun masjid besar di sana. Malik bin Dinar memberikan sumbangan yang tak terhitung banyaknya untuk pembangunan masjid itu.
Di balik sikap dermawannya itu, ada maksud tersembunyi. Ia ingin menjadi takmir masjid yang dibangun khalifah. Jabatan takmir yang prestisius saat itu akan melengkapi kehormatan dirinya sebagai orang kaya. Namun menjadi takmir tidak cukup hanya bermodalkan kekayaan dan kedermawanannya. Umat harus tahu bahwa dirinya juga orang yang tekun beribadah.
(Baca juga: Prof Rasjidi dan Remas)
Maka dalam tahun itu dia menunjukkan sikapnya sebagai orang yang amat gemar beribadah. Orang yang lewat di masjid itu senantiasa melihat Malik bin Dinar selalu shalat. Sebenarnya suara hatinya sendiri selalu menegur perilaku Malik yang serba pamrih dan kepura-puraan itu: “Malik, alangkah munafiknya engkau,” bisik suara hatinya. Namun Malik terus membungkam suara kejujuran itu.
Setahun berlalu, tetapi ia belum berhasil menjadi takmir. Suatu malam ketika kawan-kawannya tengah tidur, ia meninggalkan masjid, mencari selingan dengan menikmati hiburan. Ia mengambil alat musik dan memainkannya penuh perasaan sampai jauh larut malam. Di tengah asyiknya bermain musik, Malik tiba-tiba seakan mendengar suara peringatan: “Malik, mengapa engkau memberikan dirimu dalam kemunafikan dan tidak segera bertobat? Apa yang membuat jiwamu sakit?” kata suara yang seakan keluar dari alat musik yang dipegangnya.
Mendengar suara itu, Malik meletakkan alat musiknya dan kembali ke masjid. “Selama setahun penuh aku menyembah Allah dengan kemunafikan dan pura-pura. Aku malu pada Tuhan dan diriku. Seandainya sekarang mereka menunjukku menjadi takmir, aku akan menolaknya.” Malam itu Malik beribadah dengan penuh ikhlas tanpa pamrih apa pun, kecuali hanya mengharap ridla Allah. Sangat berbeda dengan hari sebelumnya.
Besuknya orang berkumpul di masjid untuk memilih takmir. Maka mereka sepakat bahwa orang paling tepat adalah Malik bin Dinar. Tetapi Malik tidak bersedia menerimanya. “Ya Allah, selama setahun aku mengabdi kepada-Mu dengan penuh kemunafikan, tetapi Engkau tidak memperhatikan keinginanku. Sekarang, setelah aku dengan tulus ingin sepenuhnya mengabdi kepada-Mu, orang-orang datang memberikan tugas itu. Ya Allah, kini aku sedikit pun tak berminat lagi dengan jabatan itu,” kata Malik. Demikian dikisahkan oleh Fariuddin al-Attar dalam “Anekdot Para Sufi”. Baca sambungan hal 2 …