PWMU.CO – Penetapan awal puasa, Idul Fitri maupun Idul Adha di Indonesia seringkali dirayakan tidak bersamaan karena ada yang menggunakan hisab (haqiqi) dan ru’yah. Bagi yang menggunakan hisab seringkali dituduh telah meninggalkan sunnah, karena hadits Nabi menyatakan “rukyat”, bukan hisab. Lantas bagaimana sesungguhnya pokok masalah dalam penggunaan hisab ini ditinjau dari Sunnah Nabi?
(Baca: Belum Yakin Arah Kiblatmu? Hari ini Waktu Terbaik Meluruskannya dan Umat Islam Bersatu saat Gerhana)
Sebenarnya, pokok permasalahannya pada pemahaman kata ru’yah dalam hadits-hadits Nabi saw dan kedudukan hisab dalam hukum Islam. Bagi mereka yang tidak tahu akan kedudukan dua hal tersebut memang dengan mudah mengatakan hisab adalah bid’ah. Sebab, kata “ru’yah” dalam hadits-hadits itu masih dipahami dalam pengertian lughatan, belum pada tingkat istilahan. Padahal ru’yah bisa juga berarti mengetahui, bukan yang selamanya harus dilihat dengan mata kepala sebagaimana akar kata ra-aa-yaraa-ru’yatan.
Dalam al-Qur’an maupun hadits banyak sekali kata yang berakar dari ru’yah itu yang tidak berarti harus melihat dengan mata. Misalnya dalam surat al-Maun, ayat pertama.
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ
Kata ra’aita dalam ayat tersebut tidak bisa diartikan melihat dengan mata, sehingga tidak layak kalau diartikan, Tidakkah kamu melihat dengan mata orang yang mendustakan agama? Tetapi harus diartikan tahukah kamu…..? Sedang untuk mengetahuinya cukup dengan pikiran.
(Baca: Ramadhan, Lebaran, Idul Adha 2016 akan Bersamaan)
(Baca: Awal Puasa 6 Juni, Idul Fitri 6 Juli)
(Baca: Panduan Hisab dan Tuntunan Ibadah Ramadhan)
Untuk menjadikan kata ru’yah sebagai istilah syara’ diperlukan penjelasan dari syara’ itu sendiri. Semisal kata “shalat” bisa menjadi istilah adalah karena sabda Nabi saw: Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat. (HR Muslim). Juga kata haji menjadi istilah berdasar sabda Nabi saw: ambillah dariku ibadah hajimu (HR Muslim).
Sejauh ini kata ru’yah dalam hadits-hadits Nabi saw itu tidak atau belum dijumpai sabda Nabi: Ambillah dariku cara ru’yahmu. Karena itu, menetapkan kata ru’yah di sini dengan arti harus melihat dengan mata telanjang bisa-bisa malah bid’ah karena memasukkan ru’yah dalam ibadah mahdlah. Padahal ru’yah itu duniawi, sebatas teknis untuk memperoleh kepastian awal waktu ibadah.
Selanjutnya halaman 02…