PWMU.CO – Struktur kepemimpinan Muhammadiyah dan pembagian daerah pada masa-masa awal sangatlah sederhana. Hierarkinya sangat pendek. Lebih mementingkan dinamika organisasi, amal usaha, kemudahan komunikasi, dan koordinasi. Yang tidak ketinggalan, nama-nama struktur pun juga lumayan “lucu” jika digunakan dalam bahasa sekarang.
Coba tengoklah bagaimana Anggaran Dasar Muhammadiyah periode awal, yang menamai struktur organisasinya yang paling rendah: gerombolan. Sebuah istilah yang dalam kekinian sangat kurang enak di telinga karena mengalami pergeseran makna yang cenderung negatif (peyoratif). Gerombolan dalam masa kekinian lebih cocok digunakan untuk “kumpulan” mereka yang ”lumayan” liar. Bukan jamaah yang berserikat untuk memperdalam iman dan Islam. Tentu lebih nikmat istilah “Ranting”, bukan sebagaimana yang sekarang?
Yang kurang enak lagi, sebutan “anggota” Muhammadiyah saat itu juga terasa kurang enak di telinga kekinian. Yaitu sekutu, yang dalam ejaan lama tertulis sekoetoe. Lagi-lagi sekutu dalam kekinian juga punya makna kurang positif, karena ia lebih dekat pada kerjasama dalam kejelekan. Bersekutu biasanya lebih dimaknai sebagai “pengikut yang membabi buta”, bahkan bersekongkol. Tentu istilah yang sangat tidak mengasyikkan, bukan?
(Baca: Spirit Toyota Camry L 1 MH dan 6 Fakta Ketua PWM Jatim yang Pertama, KH Abdulhadi)
Eloknya lagi, meski strukturnya paling bawah, gerombolan ternyata sangat istimewa. Ia bukan berada di bawah Cabang (dulu tulisannya Tjabang) saja, tapi ada juga yang langsung berada di bawah struktur Pimpinan Pusat, yang dulu pun namanya juga Pengoeroes Boesar. Gerombolan yang minimal sekutunya, eh anggotanya, minimal 5 orang, bisa dibentuk oleh pengurus (sekarang pimpinan) Cabang atau bahkan Pimpinan Pusat sendiri. Jadi, PP selain membawahi langsung Cabang, ternyata kadang-kadang juga langsung membawahi Gerombolan/Ranting. Repot, bukan?
baca sambungan hal 2 …