Yang tidak boleh dilupakan, meski Cabang, setidaknya hingga tahun 1965-an, struktur organisasi ini bukan seperti Cabang dalam artian Pimpinan Cabang/PCM sekarang. Sebab, struktur Cabang rata-rata setingkat Kabupaten/Kota, meski ada beberapa Cabang juga dalam satu kabupaten/kota. Sudah bisa membayangkan bagaimana repotnya kordinasi antar struktur, bukan?
Barulah pada tahun 1930, ada sedikit perbaikan dengan pembentukan “Konsul Daerah” yang biasanya mengambil wilayah (eks) Karesidenan. Seperti di Jatim misalnya, selain ada Konsul Daerah Surabaya, juga ada Pasuruan, Besuki, Madiun, Malang, dan Madura. 20 tahun kemudian ada penyempurnaan lagi. Konsul diganti dengan istilah “Perwakilan Pengurus Besar”, yang dibentuk di eks Karesidenan dan juga Provinsi. Perwakilan PB tingkat Provinsi ini merupakan hasil musyawarah dari Perwakilan PB tingkat Karesidenan, yang di Jatim sendiri baru terbentuk pada 1951.
(Baca: Spirit Toyota Camry L 1 MH dan 6 Fakta Ketua PWM Jatim yang Pertama, KH Abdulhadi)
Barulah pada tahun 1965, setelah muktamar Bandung, disempurnakan lagi menjadi struktur seperti yang bertahan hingga sekarang. Hirarkinya dimulai dari Pimpinan Pusat – Pimpinan Wilayah – Pimpinan Daerah – Pimpinan Cabang – Pimpinan Ranting. Tapi sebutannya saat itu masih “terbalik” selain untuk PP. Untuk PWM misalnya disebut dengan Pimpinan Muhammadiyah Wilayah (PMW), PMD untuk PDM, PMC untuk PCM, dan PMR untuk PRM. Sebab, istilah PWM, PDM, PCM, dan PRM memang baru “diresmikan” setelah muktamar 1985 di Surakarta.
Jadi, jangan heran jika Anda sesekali bertemu dengan aktivis Muhammadiyah kelahiran di bawah 1940, mereka lebih fasih menyebut PMW daripada PWM, PMD daripada PDM, dan seterusnya. Dan, jangan kaget pula jika berkali-kali mereka menyebut nama “Gerombolan” saat bercerita tentang Muhammadiyah pada masa kecil mereka. Beda zaman memang beda rasa. (paradis)