PWMU.CO – Luar biasa wanita asli Indonesia yang satu ini. Ketika adat memaksa wanita bergelut di dapur-sumur-kasur, ia malah rajin menulis dan membaca buku, majalah, koran, dan lain-lain. Proses belajar-mengajar sekolahnya yang di bawah naungan kurikulum penjajah Belanda membuat Kartini fasih berbahasa Belanda. Beberapa teman penanya juga dari negara Belanda.
Salah satu soulmate-nya bernama Rosa Abendanon. Oleh Mr. J.H. Abendanon –Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda–, surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Melalui aktivitas korespondensi inilah, ia banyak mendapatkan buku, surat kabar dan majalah dari Eropa. Meski belum ada handphone apalagi internet pada saat itu.
Kartini memang terlahir di lingkungan keluarga Bupati yang dekat dengan pemerintah Belanda, memudahkannya mendapatkan fasilitas buku, koran dan majalah. Tapi bila dibandingkan dengan anak muda saat ini, belum tentu sebelum usia 20 tahun sudah bisa bahasa asing, suka membaca artikel-artikel jurnalistik, buku-buku literatur dan juga berkorespondensi dengan anak muda luar negeri yang tentunya membutuhkan kesepahaman bahasa. Bukan prestasi yang kecil, bukan?
(Baca: Ini Salah Satu Perbandingan Kartini dan Siti Walidah)
Dalam buku yang berisi kumpulan surat-suratnya, Door Duisternis tot Licht, (Dari Kegelapan Menuju Cahaya), sangat terasa bagaimana agamisnya seorang Kartini. Tidak sedikit diantara suratnya terselip berbagai ungkapan yang bernafaskan Islam, sebagaimana tergambar dari berbagai cuplikan suratnya berikut. Pertama, “Astaghfirullah, alangkah jauhnya saya menyimpang.” (Surat Kartini kepada Ny Abendanon, 5 Maret 1902).
Kedua, “Sudah lewat masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa dibalik… sesuatu yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?” (Surat Kartini kepada Abendanon 27 Oktober 1902).
Yang ketiga, “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah”. (Surat Kartini ke Ny. Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903).
(Baca: Kartini Jadikan Al-Qur’an sebagai Inspirasi Pembaharuan dan Lebih dari Sekedar Kartini)
Religiusitas Kartini juga tergambar dalam suratnya pada Ny. Van Kol: “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.” (21 Juli 1902).
Juga suratnya pada Prof Anton dan Nyonya (4 Oktober 1902): “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-sekali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibanya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri kepada tangannya, menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
Baca selanjutnya halaman 02…