PWMU.CO – Bagi bangsa Indonesia, RA Kartini dan Siti Walidah, merupakan dua sosok yang sangat inspiratif. Hidup pada zaman yang bersamaan, keduanya menjadi teladan perempuan dalam perjuangan “keserasian gender”. Dua pahlawan nasional ini berjuang membangun keserasian antara peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan, baik di rumah maupun di luar rumah. Bukan saling mengalahkan dan menyalahkan tetapi saling berjalan beriringan.
Selain banyak persamaan, sudah tentu ada perbedaan. Terutama kondisi yang melingkupi Kartini maupun Siti Walidah, apalagi saat saat keduanya (akan) memasuki usia pernikahan. Lazimnya pasangan suami-istri, dalam pandangan Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) Jatim, Siti Dalilah Candrawati MAg, kesuksesan istri sesungguhnya tidak lepas dari peran suami. Dukungan dari suami inilah yang sangat membedakan antara Siti Walidah dan Kartini.
(Baca: Siti Walidah, Lebih dari Seorang Kartini)
“Ada orang hebat di samping Nyai Siti Walidah, yaitu suaminya KH A Dahlan,” kata dosen UIN Sunan Ampel Surabaya ini. Sebab, tambah Candra, pendiri Muhammadiyah itu sangat memberi ruang yang sangat luar biasa kepada kaum perempuan untuk berjuang membangun masyarakat di saat kondisi perempuan masih terbelenggu oleh tradisi zaman. “Kyai Dahlan sangat sadar bahwa membangun masyarakat memang tidak akan cukup hanya dilakukan oleh laki-laki,” tambahnya.
Tak heran jika Siti Walidah pun saat sudah berstatus istri Kyai Dahlan, dia tampil menjadi salah satu perempuan yang melampaui zamannya dalam memajukan kaumnya. Rintisannya dalam membina perempuan terekam jelas dalam sejarah, dengan berdirinya Sopo Tresno yang kemudian berubah menjadi Aisyiyah, dan tentu saja Nasyiatul Aisyiyah.
Kondisi yang agak berbeda dialami oleh RA Kartini. Ketika akan dinikahkan oleh orangtuanya, dia memberi syarat kepada calon suaminya yang juga Bupati Rembang, Jawa Tengah. “Saat mau dinikahi bupati Rembang, beliau mengajukn syarat agar masih diberi kesempatan untuk terus berjuang mendidik kaum perempuan dan anak-anak,” jelas Candra.
(Baca: Kartini Jadikan Al-Quran sebagai Inspirasi Pembaharuan dan Ketika Kartini Bertasbih)
Lembaran sejarah sebenarnya menunggu peran lanjutan dari Kartini dalam memperjuangkan kaumnya setelah berstatus sebagai seorang istri. Belum sempat sejarah kebajikan itu tertancap dalam perjalanan bangsa, ternyata Allah sw lebih dahulu memanggil Kartini.
Sudah tentu catatan ini perbandingan hanya dari satu sudut, dukungan seorang suami. Tentu tidak bisa dijadikan untuk menilai mana yang lebih antara dua tokoh perempuan itu. Apalagi perbandingan itu ternyata tidak bisa lengkap.
Sebab, RA Kartini kurang setahun berstatus “istri” sebelum wafat, sementara Siti Walidah hampir 20 tahun berstatus istri sebelum KH Ahmad Dahlan wafat. Dan Siti Walidah pun tetap melanjutkan perjuangan memberdayakan perempuan hingga Allah swt memanggilnya pada tahun 1946. (kholid)