Oleh Daniel Mohammad Rosyid
PWMU.CO – Kemarin malam, Rabu (31/1/218), telah terjadi sebuah peristiwa menarik yang jarang terjadi: gerhana bulan, bulan super, dan bulan merah.
Ketiga benda langit berada dalam konfigurasi satu garis lurus selama beberapa saat. Observasi kita atas benda-benda langit itu memberi dua pesan pokok berpasangan: ruang dan waktu, space and time.
Berbeda bagi Newton, bagi Leipzig-Kant waktu kalender ternyata hanya sebuah rangkaian peristiwa perubahan posisi bumi terhadap matahari dalam sebuah orbit revolusioner. Sementara jam merupakan rangkaian peristiwa perubahan posisi bumi berputar pada sumbunya sendiri.
Kedua orbit itu berbentuk elips, bukan lingkaran. Sumbu putar rotasi bumi membentuk sudut terhadap bidang revolusinya mengitari matahari. Pada saat yang sama sumbu bumi tersebut bergetar secara polaris.
Hanya Islam yang mewacanakan peristiwa gerhana ini secara saintifik, bukan secara mistik dan tahayul. Saat gerhana berlangsung, umat Islam dianjurkan untuk melakukan shalat gerhana. Alquran menggambarkan fenomena astronomis itu antara lain dalam Surat Yunus ayat 5. “Dia-lah yang telah menjadikan matahari memancarkan cahaya, dan bulan memantulkan sinar (ke bumi). Lalu ditetapkannya manzilah (orbit) agar kalian dapat mengembangkan kalenderisasi dan ilmu hitung. Tidaklah Allah ciptakan ini kecuali dengan obyektif. Demikian itulah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya bagi mereka yang berilmu.”
Ayat ini menggunakan perumpamaan astronomi untuk memberikan pelajaran epistemologi: Allah bak matahari yang memancarakan cahaya adalah sumber ilmu, sedangkan manusia bak bulan hanya memantulkan cahaya itu, tidak (pernah) menciptakan cahaya (ilmu).
Saat gerhana bulan itu, bulan tertutupi bayang-bayang bumi. Secara epistemologis ini berarti manusia dalam kungkungan kuasa alam, memberhalakan dunia. Ini mencerminkan pandangan naturalisme positivistik Aristotelian yang menjadi pijakan sains Barat selama paling tidak sejak Isaac Newton dan Charles Darwin.
Pengakuan para penemu itu telah menyembunyikan kenyataan bahwa alam berperilaku sesuai aturan Sang Pencipta sunnatullah, tapi sains Barat didefinisikan tanpa menyebut nama-Nya. Allah hilang dalam spektrum kesadaran manusia modern, bahkan diproklamasikan kematiann-Nya.
Dengan menyingkirkan kehadiran Allah dalam kesadaran manusia, maka lahirlah superman: manusia dapat dengan leluasa tanpa rasa kagok mengeksploitasi alam dan liyan, tanpa gangguan Tuhan.
Sementara itu, sekelompok lain manusia terjerumus dalam posisi gerhana matahari di mana bulan menutupi matahari.
Manusia mempertuhankan dirinya sendiri, lalu menciptakan ilmu palsu dengan tangan mereka sendiri namun kemudian menyebutnya datang dari Allah.
Allah sering disebut, namun ajaran-Nya diplintir untuk dijual secara murahan: yaktubuuna al kitaaba bi aydiihim tsumma yaquluuna hadza min ‘indillah liyastaruu bihi tsamaanan qalillan. Sikap ini mencerminkan epistem idealisme Platonik.
Kedua bentuk epistemologi inilah yang menyusun peradaban manusia sekuler selama paling tidak 200 tahun terakhir. Hasilnya adalah kerusakan alam, penjajahan, perebutan sumber-sumber energi, ketimpangan sosial, kemiskinan luas serta keputusasaan massal dalam bentuk penyalahgunaan obat dan perilaku menyimpang.
Demikianlah sejarah pendek—dibanding sejarah pembentukan bulan, bumi, dan matahari—manusia terjerumus dalam pemujaan alam atau penuhanan pada dirinya sendiri.
Shalat gerhana mengajak manusia beriman agar senantiasa berhijrah untuk keluar dari posisi gerhana bulan atau gerhana matahari, membentuk sudut bismillah, tidak dalam satu garis lurus—sambil menyibukkan diri berporos pengabdian pada Allah Sang Pencipta.
Posisi gerhana itu adalah posisi tersesat jahiliyah. Peradaban manusia global yang terancam keruntuhan lingkungan dan perang nuklir saat ini sulit untuk tidak dikatakan jahiliy.
Sukolilo, 1 Februari 2018
*) Daniel Mohammad Rosyid adalah Guru Besar ITS Surabaya