Oleh Dina Hanif Mufidah *)
PWMU.CO – Dari Torjun, Sampang, Madura, Kamis (1/2/18) sore, tersiar kabar memilukan: seorang guru muda, meninggal dunia akibat penganiayaan siswanya sendiri.
Kejadian berawal di kelas saat Ahmad Budi Cahyono—atau yang biasa dipangil Pak Budi—mengajar Seni Rupa di kelas XII SMAN 1 Torjun, Sampang, Madura. Ia kehabisan cara mengendalikan tingkah laku siswa—sebut saja H–yang mengganggu teman-temannya.
Kuas lukisnya bergerak mencoret wajah tampan si anak. Tidak terima, siswa ini melakukan perlawanan fisik. Seisi kelas menyaksikan kejadian yang memilukan itu.
Setelah berhasil dilerai, sang guru dimintai keterangan oleh kepala sekolah dan diminta untuk istirahat di rumah. Tapi tak disangka kondisi fisiknya memburuk, hingga dirujuk ke RS Dr Soetomo Surabaya.
Malam itu sang guru wafat, dengan indikasi medis, pecahnya pembuluh darah di sekitar kepala. Secara hukum, siswa tersebut dinyatakan bersalah. Dan kita turut berduka atas meninggalnya Pak Budi, serta bersimpati dengan keluarga muda yang ditinggalkannya.
Selanjutnya kita menunggu dan melihat proses hukum berjalan, dan reaksi solidaritas dari sekolah, orangtua, dan dinas pendidikan setempat.
Dalam konteks sejawat, kita tidak perlu mencari kambing hitam.Tentang siapa yang bersalah: guru, sekolah, orangtua, keluarga, masyarakat, atau negara?
Karena yang lebih penting sebenarnya adalah memungut hikmah di balik peristiwa tragis ini dari kacamata dan persepsi guru dan dunia kependidikan.
Agar bisa menjadi bahan perenungan diri.
Mungkin ada sesuatu yang perlu ditulis ulang dengan huruf kapital. Atau dengan high light marker sebagai pengingat pentingnya masalah ini daripada sekadar rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) atau apapun persiapan teknis para guru dalam mengajar.
Sesuatu yang wajib direncanakan dan dilaksanakan di kelas-kelas, yang bukan tentang MATERI, bukan tentang MEDIA canggih berbasis IT, bukan tentang REKAPITULAI PENILAIAN saja.
Yaitu kode etik sebagai guru dan etika sosial dalam memandang kehadiran tiap anak didik di kelas sebagai perwakilan kehormatan orangtua dan keluarga.
Bahwa setiap siswa adalah aset berharga orangtuanya. Perilaku respek dalam setiap tindakan dan kata, bukan semata bermakna satu arah. Tetapi secara otomatis menjadi teladan, bagaimana mereka seharusnya memperlakukan orang lain lewat kata dan perbuatan.
Mari kita renungkan! (*)
Gresik, 2 Pebruari 2018
*) Dina Hanif Mufidah, adalah Kepala SD Muhammadiyah 1 Giri, Kebomas, Gresik.