PWMU.CO – Doktrin Islam, tentang pertahanan ekosistem keluarga, terpapar sangat jelas dalam al-Quran, “Jagalah diri dan keluargamu dari api neraka” (at-Tahrim 6). Dalam buku Pedoman Hidup Islami juga tegas dinyatakan, fungsi keluarga di lingkungan Muhammadiyah adalah agen sosialisasi nilai-nilai ajaran Islam dan wahana kaderisasi.
Bagaimana implementasinya? Ternyata tidak semudah membalik tangan. Realitasnya, tidak otomatis keluarga pimpinan bisa menjadi teladan bagi umat terkait pelaksanaan nilai-nilai ajara Islam dalam kehidupan keseharian.
Tidak semua anak tokoh mengikuti jejak orangtua (ortu)-nya. Dalam beberapa kasus, bahkan ada pula yang trauma menjadi anak aktivis, lantaran merasa tidak diurus ortunya gara-gara sibuk mengurus organisasi.
Pada sisi lain, banyak kader Sang Surya yang secara biologis bukan lahir dari keluarga pimpinan, tapi memiliki komitmen ideologis sangat kuat. Hanya, mereka merasa kurang memperoleh perhatian dan fasilitasi selayaknya dari induk organisasi.
Hal-hal seperti itulah antara lain yang melatari Majelis Pendidikan Kader (MPK) PWM dan PWA Jawa Timur, menyelenggarakan Workshop “Model Perkaderan Keluarga”, di SMAMDA Sidoarjo pada 6 Januari 2018 lalu. Di antara contoh model, yang menjadi perbincangan hangat dalam workshop tersebut adalah Famgath (Family Gathering) dan Rumah Kader, yang kebetulan saya ikut terlibat di dalamnya.
Famgath, merupakan bentuk kegiatan perkaderan kultural, yang melibatkan keluarga aktivis, bernuansa rekreatif dan bermuatan ideologis. Tujuannya, merawat keluarga kader Sang Surya agar tetap solid dan dapat mewujudkan nilai-nilai ke-Islaman dalam kehidupan keseharian, di lingkungan keluarga. Sekaligus untuk menjaga kesinambungan antargenerasi, agar tidak terputus dengan generasi kedua, ketiga, dan seterusnya.
Kehadiran model perkaderan yang kali pertama diadakan pada 2011 ini, merupakan wujud ikhtiar jama’i, untuk menjaga dan merawat Keluarga Kader Sang Surya. Karena sifatnya yang kultural, kepesertaannya tanpa dibatasi oleh latar historis seseorang, ataupun jabatan yang sekarang disandang.
Siapa saja yang berminat, asalkan punya komitmen kuat dan kontributif pada gerakan dakwah, bisa bergabung. Karena justru sisi positif dari para “muallaf” seperti itu, kerap lebih militan dibanding yang mengaku kader asli.
Semula yang mengikuti terbatas, hanya sekitar 40 peserta dari 10 keluarga. Dalam perjalanannya menarik berbagai kalangan luas. Bukan saja dari daerah-daerah di Jawa Timur, tapi juga Samarinda, Kaltara, Makassar, Jakarta, Klaten, dan Yogyakarta. Paling heboh Famgath ke-6, lebih dari 450 peserta ikut memeriahkannya.
Banyaknya peserta yang hadir secara sukarela, menepis sinyalemen adanya krisis kader di lingkungan Muhammadiyah. Karena sejatinya memang banyak kader, cuma belum terhimpun dengan baik. Terbukti, melalui kegiatan ini, tergali banyak kader potensial.
Desain kegiatannya bernuansa rekreatif, agar di tengah kesibukan rutin masing-masing, kegiatan ini bisa menjadi alternatif refreshing bagi keluarga yang bersangkutan. Acaranya unik, berbeda dengan kegiatan formal, dan menggembirakan untuk semua usia, dipenuhi door prize menarik yang disediakan oleh sesama. Selain taushiyah, ada dongeng dan sulap, game, outbond, futsal, renang, dan lomba hafalan al-Quran. Penyelenggaraannya selalu di tempat terbuka, pada waktu liburan sekolah.
Materi acaranya bermuatan Ideologis. Beberapa nilai ideologis coba ditanamkan. Pertama, keteladanan. Semua peserta, tua muda, diajak shalat berjamaah, kemudian kultum bergantian. Dari forum ini, lahir gagasan segar, curhatan lucu, contoh-contoh amalan yang berkah. Juga kisah-kisah inspiratif mengenai perjumpaannya dengan Muhammadiyah.
Kedua, solidaritas sosial. Doktrin al-Ma’un mengenai kepedulian dan berbagi dengan sesama, dipraktikkan langsung. Misalnya, dari sisi pembiayaan. Seluruhnya ditanggung renteng oleh peserta sendiri dengan cara urunan sukarela sesuai kemampuan, tanpa mengganggu uang Persyarikatan. Ada yang nyumbang uang, barang konsumsi, dan aneka hadiah. Semua berlomba berbagi, menyumbangkan apa yang dipunyai. Jika lebih, disumbangkan untuk pemberdayaan kader.
Ketiga, kebersamaan. Tidak boleh ada yang merasa jadi tamu dan minta dilayani, tapi harus saling melayani. Peserta bisa tidur bersama di tempat sederhana, bersih-bersih bersama di ruang pertemuan, menyiapkan sarapan bersama, dan sebagainya.
Keempat, regenerasi. Seperti dinyatakan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim, Saad Ibrahim, masa depan Muhammadiyah harus bisa diproyeksikan sejak awal. Karena segala sesuatu tidak ada yang ujuk-ujuk. “Famget ini bagian dari proyeksi masa depan keluarga Muhammadiyah, atau gerakan untuk mendesain generasi masa depan.”
Famgath sebagai salah satu contoh model, diharapkan bisa mengilhami daerah-daerah untuk melakukan hal serupa, dalam bentuknya yang khas, sesuai kondisi lokal masing-masing.
Sedangkan Rumah Kader, mirip seperti pondok pesantren tetapi tidak ada aturan yang mengikat. Mulai 1991 hingga 2003 bermarkas di Jalan Gembili III/42 Surabaya. Di rumah ini, berkumpul para aktivis pelajar dari seluruh daerah di Jatim, bahkan luar provinsi. Mereka umumnya kader ideologis, bukan kader biologis.
Rumah tersebut menjadi tempat kajian yang efektif dan variatif. Mulai dari topik ideologi-spiritual, managemen, pengetahuan umum, hingga pemikiran Islam yang variatif pula. Diskusi-diskusi untuk mengasah daya kritis digelar rutin seminggu sekali, termasuk aktivitas akademik.
Kedekatan emosional yang terjalin begitu kuat karena interaksi terjadi bukan hanya di ruang formal rapat dan acara organisasi. Sehingga kelebihan dan kekurangan masing-masing bisa dinikmati bersama dengan rasa pengertian. Komunikasi antarpersonal bisa cair, dan berdampak positif dalam komunikasi organisasi.
Perbedaan latar belakang keluarga terkait status dan sebagainya tidak menjadi sekat. Semua merasa nyaman, karena mendapat perhatian dan kesempatan yang sama. Masing-masing punya potensi yang bisa eksplor.
Proses perkaderan yang berlangsung harian, diperkuat dengan berbagai kompetensi kajian tersebut, perlahan membentuk karakteristik individu kader yang militan dan toleran. Meskipun dengan sikap pemikiran Islam yang berbeda, militansi terukur dari totalitas mereka berkegiatan. Sikap toleran terekspresi dari semangat kerjasama mereka dalam berkegiatan yang relatif langgeng hingga kini.
Dari rumah ini, proses pematangan kepribadian dan berfikir dilakukan. Nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Muhammadiyahan diinternalisasikan. Proses pembentukan keluarga pun mulai bersemi, sehingga lebih dari dua puluh kader bertemu jodoh di rumah ramah remaja itu.
Dalam pandangan para alumni, rumah kader merupakan salah satu implementasi model perkaderan keluarga yang strategis. Penghuninya bukan kader beginner, tapi kader dengan level komitmen intermediate ke atas. Dalam perkembangannya, para kader utama tersebut seringkali membawa kader-kader baru, sehingga meningkatkan kuantitas penghuni. Para alumninya, di mana pun berpijak rata-rata menjadi pionir gerakan.
Mulai 2003, fungsi Rumah Kader berpindah di Jalan Ubi VI/27-A Surabaya. Di rumah ini, beberapa kader dari luar daerah dan luar provinsi tinggal serumah, melaksanakan kegiatan keagamaan dan keorganisasian, serta diskusi-diskusi yang dipelopori angkatan muda.
Penting dicatat, meski Famgath dan Rumah Kader adalah gerakan kultural, tetap perlu manajemen yang bagus.
Juga harus ada yang mau berkeringat mencurahkan fikiran, menyediakan tenaga, mengeluarkan uangnya, serta sabar menerima cemoohan dari mereka yang belum faham. [*]
Opini oleh Nadjib Hamid adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim.