PWMU.CO – Sebut saja namanya Candra Kirana. Seorang Muslimah yang kini sedang bekerja di sekolah musik, bidang yang menurut beberapa orang diharamkan oleh Islam. Yang menjadi pertanyaan baginya adalah: apakah benar musik itu tergolong perkataan tidak berguna sebagaimana disebutkan dalam surat Luqman: 6? Lalu kenapa ada dakwah lewat musik, — bahkan kini muncul berbagai nasyid–? Lantas apa bedanya nasyid dengan musik?
Tentang masalah itu, almarhum KH Mu’ammal Hamidy mengupasnya dengan berangkat dari QS Luqman ayat 6. Bunyi ayat itu secara lengkap adalah sebagai berikut:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan, dan menjadikan jalan Allah olok-olokan. Mereka itu akan mendapatkan azab yang menghinakan. (QS Luqman: 6)
“Kalimat “perkataan yang tidak berguna” adalah terjemahan dari laghwul hadits, yang memang ada sebagian orang mengartikannya dengan nyanyian atau musik,” jelas Mu’ammal dalam “Islam dalam Kehidupan Keseharian”.
Alasan mereka yang menafsirkan ini, lanjut Mu’ammal, berangkat dari sebuah riwayat menerangkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan salah seorang dari suku Quraisy yang membeli seorang budak penyanyi. Lalu, budak itu disuruh menyanyi, sambil mengatakan bahwa nyanyiannya ini lebih enak didengar daripada apa yang disampaikan Nabi Muhammad. (Tafsir al-Munir Juz 21, halaman 131). “Dari situ timbul istilah alatul malaahi (alat-alat melalaikan) untuk alat-alat musik, sebagaimana tersebut dalam kitab-kitab fiqih.”
Namun, lanjut Mu’ammal, dalam riwayat lain yang dikatakan laghwul hadits itu adalah buku-buku cerita yang indah-indah, berdasar riwayat yang menceritakan Nadhar bin al-Harist. Pedagang suku Quraisy ini pada suatu hari berdagang ke Persia, lalu di sana dia membeli beberapa buku cerita tentang Rustum, para Kaesar, dan sebagainya. “Cerita itu dibacakan, seraya dikatakan bahwa cerita ini lebih menarik ketimbang cerita Muhammad,” tulisnya sambil mengutip Tafsir al-Munir Juz 21, halaman 131.
“Dua-duanya bertujuan untuk mengalihkan perhatian orang dari mendengarkan al-Quran, itulah yang dalam ayat di atas dikatakan “untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah”,” jelas Mu’ammal. Dilihat dari dua riwayat di atas, musik atau cerita apa saja yang kira-kira bisa mengalihkan orang dari jalan Allah ke jalan setan itulah yang dinamakan laghwul hadits (perkataan yang tidak berguna).
Jadi, kalau ditanyakan apakah musik termasuk perkataan yang tidak berguna? “Jawabnya ada dua: mungkin ya, mungkin tidak. Tergantung pada isi dan penggunaannya,” jelas Mu’ammal.
Mu’ammal lantas melanjutkan dengan mengutip DR Yusuf al-Qardhawi dalam Halal dan Haram dalam Islam, yang juga mengutip pendapat Imam Ghazali dalam al-Ihya’, menyatakan pada prinsipnya nyayian atau musik itu boleh, asalkan tidak tercampur dengan mabuk-mabukan, pencabulan, dan sebagainya. “Artinya, musik yang diperbolehkan adalah musik yang tidak berbau maksiat dan munkar, sedang yang tidak boleh adalah sebaliknya.”
Terkait dengan perbedaan musik atau nyanyian dengan nasyid, lanjut Mu’ammal, adalah sama. “Bernyanyi atau nyanyian, salah satu bahasa Arabnya adalah nasyid,” lanjutnya. Karena hokum menyanyi itu boleh atau musik itu boleh, maka boleh pula dijadikan sebagai media dakwah. “Yang perlu diperhatikan adalah teknisnya serta dampaknya.”
Sudah jelas, bukan? (redaksi)