PWMU.CO – Tindakan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) Zaadit Taqwa yang mengacungkan “kartu kuning” sambil meniup sempritan di depan Presiden Joko Widodo, layaknya wasit sepak bola, menjadi musim heboh yang luar biasa.
Menjadi silang sengkarut perbincangan mulai yang sangat emosional, bahkan nyaris kalap. Sampai yang rasional, bahkan nyaris kemelipen. Mulai remaja sampai generasi tua bangka. Mulai dari ibu rumah tangga sampai menteri mengomentari.
Menyebar menyeluruh di strata sosial masyarakat, menyelinap di kampung dan gedung-gedung, di warung kopi sampai perguruan tinggi. Masuk pusaran puting beliung komunikasi pro-kontra yang deras.
Saya sendiri tertarik mulai dari nama Zaadit Taqwa. Di telinga saya, nama ini ganjil. Nama ini tidak lazim. Yang umum itu Zaid atau Zahid atau Syahid. Nama Taqwa juga sangat langka layaknya batang kelapa bercabang lima. Yang galib itu Taufik, Tamhid, Tawar. Atau panggilan akrab seperti Tacik.
Kalimat zaadit taqwa itu sering disebut para ustad, terutama saat ceramah manasik haji, bahwa sebaik-baik bekal haji adalah bekal taqwa. “Wa tazawwadu wa inna khaira zaadit-taqwa”, berbekallah kamu, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa. (Alquran Surat 2: 197).
Jika saja peristiwa “kartu kuning” itu terjadi di akhir 1990-an sampai dekade pertama tahun 2000 bukanlah hal terlalu istimewa karena saat itu mahasiswa masih berada di panggung romantika gerakan reformasi menumbangkan rezim Orde Baru.
Mahasiswa masih menjadi primadona kontrol sosial. Ibaratnya auman macan di rimba yang banyak macannya pasti bukan hal yang istimewa. Tetapi “kartu kuning” ini seperti auman macan di tengah rimba yang diperkirakan macannya sudah punah. Maka ketika auman itu membahana di tengah malam yang gelap, ketika masyarakat tertidur lelap, maka benar-benar dahsyat, seolah mampu memecah kepala batu, merontokkan jantung arogansi, mengoyak dinding keangkuhan.
Bukankah dalam beberapa tahun terakhir ini gerakan moral mahasiswa sudah dianggap loyo, matisuri. Bahkan yang menyakitkan, gerakan mahasiswa distigma sudah terkooptasi kekuasaan. Gerakan mahasiswa distigma sebegitu buruk sehingga menimbulkan tidak simpati masyarakat.
Zaadit Taqwa telah menyentakkan bahwa gerakan moral force mahasiswa itu masih eksis, memberada. Perikeberadaannya itu ditunjukkan dengan sikap Zaadit Taqwa yang terus berjalan sesuai dengan fitrah kemahasiswaannya. Dia seperti matahari yang terus berjalan pada fitrahnya tanpa terpengaruh oleh orang-orang yang memujinya karena merasa diuntungkan seperti jemuran karaknya bisa kering, tanaman padinya cepat menguning.
Juga tidak terpengaruh dengan teriakan orang-orang yang ginjal-ginjal karena kepanasan, orang-orang yang meriang karena mobilnya yang terjemur sehingga khawatir jadi kerupuk.
Fitrah kemahasiswaannya itu bisa dilihat sikapnya yang menolak ajakan pemerintah untuk berkunjung ke Asmat, Papua atas biaya pemerintah. Hal itu dilakukan untuk menjaga independensinya. Jantung gerakan mahasiswa adalah independesi, sedang hatinya moral force. Fasilitas, pelayanan, bisa meruntuhkan independensi. Dia memilih mengajak masyarakat berinfak untuk menolong masyarakat Asmat yang kelaparan dan terserang wabah penyakit campak. Dana masarakat itu halal dan independen, lillahi taála.
Dia tidak mau meladeni kalangan nyinyiris mulai sesama mahasiswa sampai menteri. Dia tidak mau terpancing permainan buzzer yang menyerangnya bertubi-tubi. Saat ini buzzer adalah lahan bisnis yang menggiurkan. Cara kerjanya di depan laptop, menulis caci maki, men-share fitnah dan hoax, memutilasi karakter orang lain secara sadis. Kelompok inilah yang diancam masuk neraka hutamah (Surat Al Humazah). Saat ini banyak orang takut menyuarakan kebenaran dan keadilan karena takut di-bully buzzer. Banyak yang energi positifnya menguap tanpa guna karena meladeni permainan buzzer.
Cara “kartu kuning” Zaadit Taqwa itu, jika diruntut lebih jauh dan mendalam, akan sampai pada akar budaya politik kita sejak zaman raja-raja. Setiap rezim kerajaan itu hampir pasti otoriter-diktatorial, mutlak. Tetapi, di tengah kemutlakan kekuasaan raja, tetap tersisa ruang demokrasi.
Di dalam tradisi kekuasaan Jawa, ada empan dan papan (waktu dan tempat) yang disebut pepe ing ngisor bandera siningker (berjemur di bawah tiang bendera di depan ruang rapat raja).
Kerajaan selalu memiliki pasewakan agung atau tempat raja berbicara secara kenegaraan dengan para pejabat berupa pendapa atau ruang terbuka. Di depan pendapa itu ada alun-alun yang di tengahnya berdiri tiang bendera kerajaan. Lingkaran ruang di bawah bendera itu merupakan tempat sakral karena di situlah rakyat bisa menyampaikan aspirasinya kepada raja tanpa boleh dihalangi atau diancam siapapun. Rakyat yang mau mengadu harus duduk bersila bisa berhari-hari, kepanasan atau kehujanan. Maka mekanisme itu disebut pepe ing ngandhap bandera siningker, berjemur di bawah tiang bendera yang tegak.
Jika ada rakyat yang melakukan pepe, berarti ada hal yang luar biasa. Pertama, karena ada masalah yang luar biasa, mendesak, sangat urgent untuk disampaikan langsung kepada raja. Rakyat sangat mafhum, tidak akan akan melakukan pepe untuk menyampaikan hal yang remeh-temeh.
Kedua, rakyat ingin mengingatkan secara halus dan santun terhadap raja tentang eksistensinya. Yaitu, tidak cidera janji (mengingkari janjinya) karena raja dituntut memiliki karakter berbudi bawa leksana (menepati janji). Agar raja dengan rakyat tetap pada kaidah manunggaling kawula-gusti (menyatunya raja-rakyat). Raga raja boleh d istana tetapi jiwanya harus di rakyat.
Ketiga, untuk menembus barikade komunikasi yang tersumbat antara raja dengan rakyat. Penyumbatnya adalah pejabat-pejabat di sekeliling raja yang culas, tidak jujur, hanya mencari muka di depan raja. Selalu membuat laporan yang menyenangkan raja, menutupi kondisi nyata rakyat. Ke atas menjilat, ke bawah menginjak.
Kalau raja sudah dipisahkan secara komunikasi dengan rakyatnya, maka pada dasarnya raja sudah dipenjara dengan kemewahan, kekaburan dan hawa nafsu. Rakyat dipenjara dengan kenistaan dan kesengsaraan. Pejabat-pejabat itu yang mengeruk keuntungan untuk diri sendiri, keluarga dan kroninya.
Zaadit Taqwa seolah menjadi pionir untuk menghidupkan kembali budaya politik ini. Tentu ini bukanlah hal yang mudah di tengah zaman now. Tetapi, paling tidak ada harapan bahwa masih ada mahasiswa yang peduli terhadap anak bangsa yang sengsara, yang bersikap kritis, memiliki moral force, independen, bebas dari ketakutan, freedom for fear.
Para mahasiswa zaman now menjadi harapan sebagai sumber kepemimpinan bangsa 10-30 tahun lagi. Entah kebetulan atau tidak, sosok mahasiswa harapan itu diberadakan oleh sosok yang namanya cocok untuk modal bangsa yaitu Zaadit Taqwa.
Dan memang, modal terbaik perjalanan bangsa ini ke depan untuk menuju terwujudnya negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negara baik yang penuh ampunan Allah) adalah zaadit taqwa (modal taqwa). [*]
Kolom oleh Anwar Hudijono, wartawan senior.