PWMU.CO – Pada Ahad, 11 Februari 2018, Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI, memperoleh penghargaan sebagai The Best Minister of the World 2018. Penghargaan diberikan oleh pemimpin Uni Emirat Arab Rashid Al Maktoum. Sedang penilaian dilakukan oleh konsultan keuangan Ernst and Young yang bermarkas di London.
Dalam komentarnya, Sri Mulyani menisbahkan peran Presiden Jokowi dalam menjadikannya sebagai Menteri Terbaik Dunia ini.
Tulisan pendek ini bermaksud memberi catatan kecil atas peristiwa ini. Jika yang dimaksudkan Ernst and Young adalah memilih Menteri Keuangan yang paling comply dengan rezim keuangan global ribawi saat ini, maka kita bisa langsung bertanya apakah rezim pengelolaan keuangan nasional kita saat ini sesuai dengan Konstitusi kita terutama pada Pembukaannya.
Rezim keuangan ribawi pascakeputusan Richard Nixon di tahun 1974 yang melepaskan keterkaitan uang kertas dari emas, lalu oleh Kissinger diganti dengan minyak dan perdagangan minyak harus dengan Dollar AS, maka jelas bahwa prestasi pengelolaan keuangan kita saat ini justru makin jauh dari amanat konstitusi.
Penjajahan yang sangat ditentang oleh Pembukaan UUD 45 kita itu justru dilestarikan melalui Perjanjian Bretton Woods 1944 (diorganisasikan oleh PBB) yang melahirkan International Monetery Fund dan World Bank serta World Trade Organization.
Salah satu pasal terpenting konstitusi IMF adalah melarang Dinar emas sebagai alat bayar. Akibatnya semua negara bangsa yang dilahirkan pascakolonialisme berbondong-bondong mencetak uang kertas masing-masing, termasuk Rupiah Indonesia.
Sampai pengumuman Richard Nixon itu, setiap pencetakan uang kertas harus disertai dengan peningkatan cadangan emas negara bersangkutan.
Melalui kesepakatan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger dengan Raja Faisal dari Arab Saudi itulah Dollar AS diselamatkan hingga saat ini, di atas kemiskinan massal manusia di seantero planet ini.
AS memegang monopoli atas perdagangan minyak dunia karena siapa pun hanya bisa membeli minyak dengan Dollar AS. Ketika Sadam Husein dan Muammar Khadafy mau memperdagangkan minyak dengan Dinar emas, keduanya harus disingkirkan melalui gelombang demokratisasi “musim semi Arab”.
Achmad Soekarno jauh-jauh hari sebelumnya juga tahu persis bahwa sistem keuangan global hasil konferensi Bretton Woods itu adalah cara Barat untuk terus menguras kekayaan negeri-negeri bekas jajahan mereka.
Oleh karena itu Soekarno bahkan memutuskan RI keluar dari PBB dan bersama Tito, Naser dkk mendirikan Gerakan Non-Blok 1955. Sepuluh tahun kemudian Soekarno dijatuhkan.
Betapa tidak adilnya sistem keuangan global ribawi saat ini bisa dilihat dari kebijakan quantitative easing yang ditempuh oleh The Fed untuk mengatasi krisis ekonomi AS beberapa tahun silam.
Kebijakan The Fed itu pada dasarnya adalah mencetak dollar AS sebanyak-banyaknya out of thin air. Bahkan pekan ini, The Presiden Trump menaikkan anggaran Pemerintahnya menjadi Rp. 13000 T (bandingkan dengan APBN RI yang cuma Rp. 2000 T). Sementara itu, untuk setiap 100 Dollar AS kita harus menukarnya dengan 1 kwintal beras. Padahal ongkos cetak 100 Dollar AS itu hanya sekitar 1 kg beras.
Dalam perspektif sejarah dan pembukaan konstitusi itu ada baiknya Sri Mulyani bertanya pada dirinya sendiri apakah penghargaan itu sebuah kehormatan atau sebuah penghinaan atas bangsanya sendiri. Mungkin Sri Mulyani telah melakukan semuanya yang terbaik bagi keuangan negeri ini, kecuali mempertanyakan rezim keuangan global ribawi yang menjarah kekayaan negerinya sendiri serta menyengsarakan rakyatnya.
Sukolilo, 12 Februari 2018.
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya