PWMU.CO – Keberadaan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) menjadi isu menarik dalam Focus Group Discussion (FGD) Pancasila Rabu (21/2/18) kemarin, di Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim.
Acara yang dilaksanakan atas kolaborasi Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) UMM dengan Lembaga Kerja Sama (LK) PWM Jawa Timur dan The Asia Foundation itu menghadirkan tokoh-tokoh penting.
Ada empat pembicara kunci, yaitu Prof Zainuddin Maliki, Dr Budhy Munawar Rachman, Dr Zuly Qadir, dan Dr Choirul Mahfud. Forum terbatas itu juga diikuti oleh Ketua PWM Jatim Saad Ibrahim dan Nur Cholis Huda.
Ketua LK PWM Jatim Prof Syamsul Arifin menyatakan, acara itu diadakan, salah satunya, sebagai upaya merevitalisasi Pancasila sebagai ideologi bangsa. Terlebih, dulu, ketika Pancasila dirumuskan, tokoh-tokoh Muhammadiyah turut serta berperan langsung.
Meski begitu, ada tudingan miring atas dibentuknya lembaga yang diketuai Yudi Latief tersebut. Apa itu? Tak lain adalah kekhawatiran akan penyalahgunaan atau alat kepentingan kekuasaan sebagaimana Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) zaman Orde Baru dulu.
”Ada yang tanya, apakah lembaga itu dibuat seperti zaman Pak Harto?” ujar pemateri Zuly Qodir, salah satu kader Persyarikatan yang diutus menjadi anggota UKP PIP.
Zuly menjelaskan, ada empat hal yang menjadi bahasan penting UKP PIP terkait dengan upaya pengamalan nilai-nilai Pancasila. Pertama, penetapan hari lahir. Kedua, ekstremisme. Soal ekstremisme, Zuly mengatakan bahwa itu bisa terjadi di kalangan umat apa pun. Baik Islam, Kristen, Hindu, maupun Buddha.
”Ketika saya riset di Bali, bayangkan, umat Muslim tidak boleh menggunakan jilbab,” ujarnya. ”Itu yang melarang setingkat Dinas Pendidikan lho,” lanjut kader Muhammadiyah yang oleh Pak Nur Cholis Huda disebut kritis-humoris itu.
Selanjutnya, poin ketiga, rekognisi sosial yang lemah. Beberapa orang kini menjadi keaku-akuan. Artinya, begitu melekat ego pribadi atau primordialisme. Problem selanjutnya, keteladanan mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
”Dan yang bermasalah itu ego sektoral dari kementerian lain karena merasa tidak perlu lagi diajari,” kata Zuly.
Dia menyatakan, dari lima sila itu, nanti per sila ada lima butir sehingga jumlahnya menjadi 25 butir.
Lantas, apa pentingnya Pancasila kalau sudah belajar Islam? Pertanyaan itu juga mampir kepada Zuly Qodir sebagai anggota UKP PIP.
”Kalau di Islam diajari hal-hal teknis bagaimana beragama yang baik. Tapi, Pancasila itu membuat kamu mudah-mudahan menjadi warga negara yang baik,” tegasnya.
Ada satu hal yang menjadi problem bagi anggota UKP PIP, termasuk Zuly Qodir, yakni lembaga itu hanya bersifat koordinasi ke lembaga kementerian, bukan eksekutor. (Achmad San)