PWMU.CO – Berbicara tentang Muhammadiyah, tentu tidak lepas dari ‘tarjih’ sebagai roh pergerakan. Atas saran KH Mas Mansur dalam Kongres Pekalongan 1927, Persyarikatan mendirikan Majelis Tarjih, dan diapun didaulat sebagai pengemudinya.
Majelis ini semacam forum ulama yang berusaha membahas secara tuntas pelbagai persoalan duniawi dan ukhrawi, yang hasilnya dapat dijadikan sebagai sumber rujukan bagi anggota-anggota Muhammadiyah. Usulan Mas Mansur untuk membentuk lembaga semacam forum ulama itu didasari fakta tantangan umat yang semakin kompleks.
Kepribadian kuat KH. Mas Mansur membuat banyak pihak menjadi kagum terhadapnya. Seperti yang dilakukan wartawan senior, almarhum Soebagijo I.N, kekagumannya terhadap Mansur mendorongnya menulis biografi: KH. Mas Mansur Pembaharu Islam di Indonesia. Kekagumannya berawal saat usia muda pada 1941, dia shalat Jumat di masjid Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah. Ketika itu kebetulan yang berkhutbah adalah KH. Mas Mansur.
Pada suatu hari Jumat, cuaca sangat panas, Soebagijo datang terlambat sehingga kebagian tempat di luar masjid. Ketika shalat dimulai, dan sang imam membaca surah Al-Fatihah, Subagijo terguguk, air matanya meleleh. “Suara KH. Mas Mansur kala itu mengalun, sungguh-sungguh menyentuh perasaan, menusuk jantung di rongga dada membuat senar-senar jiwa yang paling halus bergetar,” tulisnya.
(Baca: KH Mas Mansur, Sapukawat Pembabat Alas dan 5 Cerita Kedekatan Soekarno dan Mas Mansur)
Kefasihan KH. Mas Mansur dalam membaca Al-Qur’an, selain karena faktor pendidikan, tampaknya juga dibentuk kebiasaan keseharian yang tak lepas dari kitab suci. Dalam kondisi apapun, KH. Mas Mansur selalu membaca Al-Qur’an minimal satu juz setiap hari. “Ketika masih di Surabaya, kegiatan itu biasanya dilakukan setiap setelah shalat Maghrib,” jelas cucu Mas Mansur, Aunul Fitri.
Tak hanya fasih membaca, Mansur juga mahir dalam masalah tafsir al-Quran dengan perspektif yang luas. Kepiawaiannya itu diakui oleh Prof A. Mukti Ali, mantan Menteri Agama Republik lndonesia. “Biasanya beliau (Mas Mansur) menulis satu ayat al-Quran di papan tulis, lalu diuraikan artinya dari segi bahasanya, lalu ditafsirkan dari segi filsafat, sejarah, hukum, ekonomi, sosial, politik dan sebagainya, dengan mengingat situasi dan kondisi dalam jaman penjajahan akhir fasisme Jepang,” tulisnya menggambarkan sosok Mansur.
Sebuah kriteria ulama yang jadi tantangan generasi Islam kekinian. (*)