PWMU.CO – Karena sekitar setengah lapangan sepak bola lagi aku harus belok kiri, aku memutuskan mengambil lajur kiri dan memperlambat mobilku. Pada hari Ahad siang itu, jalanan di depan pabrik rokok Bentoel dipenuhi oleh mobil yang lalu lalang dari arah utara dan selatan. Pergerakan mobilku yang mulai melambat dan pelan-pelan mulai pindah lajur, tentu memberi akses kepada barisan mobil di belakangku, terutama yang akan tetap mengarah ke utara.
Begitu mobilku betul-betul pindah lajur ke bagian kiri, aku melihat mobil berwarna hitam, yang bergerak dengan gagah dan berwibawa. Aku coba mengalihkan pandanganku ke kanan, ke arah mobil Alphard hitam itu. Aha, hanya dalam hitungan tiga detik, aku mengetahui lelaki yang berada di sebelah kiri sopir itu. Sekaligus aku paham, siapa pemilik mobil yang hanya bisa dimiliki oleh kalangan terbatas.
Harga termurah mobil besutan Toyota Motor Corporation itu, untuk keluaran 2016, sekitar 1 milyar kurang 100 juta. Dengan harga itu, kita bisa membeli mobil sedan Yaris terbaru, empat sekaligus. Pemilik mobil Alphard hitam itu bukan lelaki yang duduk di sebelah kiri sopir. Aku mengenalnya. Sebagai seorang dosen, dan sepertinya lebih memilih fokus pada profesinya sebagaimana diriku, Alphard tentu belum menjadi prioritas. Lagi pula buat apa membeli Alphard, toh dengan posisinya sebagai salah seorang Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, sebagaimana pimpinan lainnya, dia bisa menggunakakan Alphard inventaris PWM Jawa Timur seperti pada Ahad, dua hari yang lalu itu.
(Baca juga: Spirit Toyota Camry L 1 MH)
Biasanya, selepas Musyawarah Wilayah (Musywil), mobilitas Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan Bendahara PWM Jatim, terjadi peningkatan, karena harus menghadiri Musyawarah Daerah Muhammadiyah di semua kabupaten dan kota di Jawa Timur.
Jangan tanya waktu akhir pekan mereka pada momen-momen seperti itu. Dipercaya menempati posisi puncak seperti di PWM, di satu sisi memang mendongkrak “modal simbolik”, tetapi di sisi lain, dituntut melayani warga Muhammadiyah yang justru sebagian besar kegiatannya, terutama yang melibatkan jamaah dalam jumlah besar, dilaksanakan pada akhir pekan.
Kalau berada di posisi puncak setingkat Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM), jangkauan mobilitas para pimpinan bolehlah dibilang tidak terlalu jauh. Seperti kehadiranku di Musycab Muhammadiyah Pakis. Aku hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 25 menit. Tetapi bagaimana dengan mereka yang berada di posisi puncak PWM? Kalau misalnya harus ke Banyuwangi atau Pacitan? Maka Alphard atau mobil yang sekelas dengannya, jangan terlalu cepat dinilai sebagai fasilitas yang wah. Alih-alih sebagai hal yang lazim untuk mendukung mobilitas pimpinan Muhammadiyah.
Muhammadiyah sejak awal memosisikan diri sebagai organisasi modern, di samping menjaga kemurnian Islam. Dengan orientasi seperti itu, wajarlah bila Muhammadiyah disebut sebagai gerakan tajdid sekaligus pemurnian atau purifikasi. Memilih secara sadar sebagai organisasi dan gerakan modern, menuntut elite dan warganya seirama dengan nilai-nilai dan kultur modern, tentu yang positif dan konstruktif. Ciri orang modern adalah pergerakannya yang adaptif, cepat, dan efektif.
Orang modern tidak boleh lelet. Fasilitas seperti mobil berkelas premium, terlalu naif kalau disebut sebagai simbol kemewahan. Alih-alih tidak lebih sebagai fasilitas untuk menjamin pergerakan Pimpinan Muhammadiyah dalam melayani warga Muhamnadiyah bahkan sampai ke level akar rumput.
Bergerak dengan cepat, tentu dengan tetap dibingkai dengan keadaban, telah menjadikan Muhammadiyah bisa diterima oleh masyarakat. Tidak sebatas di perkotaan, tetapi bahkan sampai ke pelosok desa. Muhammadiyah kini tidak lagi sekedar fenomena perkotaan, tetapi juga pedesaan meskipun berpenetrasi secara perlahan-lahan. Rupanya kalangan masyarakat pedesaan mengalami literasi Muhammadiyah. Muhammadiyah telah dirasakan manfaatnya, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan agama dengan cara yang simpel namun autentik, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka. Baca sambungan hal 2 …