Orang Muhammadiyah yang Ngajinya Enak
Aku lahir, tumbuh, dan berkembang dalam lingkungan budaya keagamaan tradisional dengan ritus-ritusnya yang khas. Dalam usia yang bisa dibilang “nak-kanak” dan remaja akhir, aku bisa melantunkan bait-bait tahlil di luar kepala alias hafal. Pun dengan manaqiban dan barzanjian.
Ayahku, yang kupanggil Abah, selepas menunaikan haji pada 1970-an, sering mendelegasikan kepadaku untuk hadir pada ritus yang biasa dilaksanakan pada Kamis malam. Sampai aku memasuki usia pemuda dan sekolah di Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Pamekasan mulai 1983-1986, aku masih memegang secara fanatis rirus-ritus itu. Aku bahkan meyakini sebagai ritus yang menyempurnakan ritus wajib lainnya.
Semua mengalami perubahan menjelang aku purna dari pendidikan sarjanaku, yang ketika bernama IAIN Sunan Ampel Fakuktas Tarbiyah di Malang. Adalah buku Pergolakan Pemikiran Islam buah pena Ahmad Wahib yang berasal dari daerah yang sama denganku, Sampang Madura, yang menjadi titik balik.
Aku mengenal buku ini dari temanku yang aktif di “Himpunan”. Guru saya, yang kepadanya aku selalu menunjukkan sikap takzim secara tulus, Pak Malik Fadjar, juga sering menyebut buku dalam perkuliahannya yang gurih dan inspiratif.
Aku kira, Ahmad Wahiblah yang harus ikut bertanggung jawab pada proses transformasi keberagamaanku, hingga aku sekarang hidup dan Allah memberi marwah dan kehidupan kepadaku dan keluarga melalui Muhammadiyah. Sampai pada bagian ini, ah, mataku mulai membasah dengan air mataku.
Madura yang Muhamnadiyah pada mulanya merupakan pilihan yang berisiko secara kultural. Stigma Muhammadiyah yang minimalis dalam beragama bagi orang-orang Madura, coba kutepis dengan cara yang beradab. Pada momen mudik ke Madura, aku harus menghadapi risiko sebagai golongan minoritas. Hanya aku, isteriku, dan ketiga anakku yang yang berbeda dengan ratusan familiku jika berkumpul dalam jamaah arisan yang digelar satu hari selepas lebaran. Tahlilan biasa dijadikan ritual pembuka sebelum arisan dimulai. Alih-alih menjauh, aku coba menikmati bacaan tersebut dengan mereka.
Dari salah paham (mungkin karena pahamnya salah, he he) sampai kemudian memahami bahwa Muhammadiyah adalah (salah satu) cara berislam yang autentik, cukuplah bagiku jika orang-orang terdekat di sekitarku memahami secara demikian.
**
“Hadirin, imam dan khatib Idul Fitri pada hari ini adalah Profesor Doktor Haji Syamsul Arifin. Beliau adalah Wakil Direktur Program Pascarjana Universitad Muhamnadiyah Malang. Selain itu, beliau juga adalah putera daerah kelahiran Dak Bukor, Panggung, Sampang.”
Aku beranjak dari tempat dudukku untuk kemudian menempati posisi imam sholat Ied, dua tahun silam. Beruntung saja, momen pada saat itu adalah momen shalat Ied sehingga jamaah tidak perlu menyambutku dengan tepuk tangan bergemuruh, lalu aku melambaikan tangan kepada mereka.
“Kak, wah kakak jadi trending topic di sekolahku,” adikku, Syamsiyah, bercerita begitu bersemangat melalui telpon. “Kak, temanku hampir nggak percaya lo kak, kalau ada orang Madura, Muhammadiyah.” Adikku masih bersemangat bercerita, katanya, ngajiku enak. Rupanya ada stigma juga kalau orang Muhammadiyah tidak fasih kalau ngaji.
Kampus 2 UMM, Sumbersari, 26 April 2016
Prof Dr Syamsul Arifin