PWMU.CO – Keputusan ber-Muhammadiyah tentu berbeda bagi tiap orang. Seperti yang diungkapkan oleh peserta Rihlah Dakwah III Muhammadiyah Jawa Timur Suprapno dalam perjalanan bus dari Hotel Park View Pattani menuju Yala Rajabath University, Thailand, Sabtu (3/3/18).
“Saya terlahir bukan dari keluarga Muhammadiyah (biasa disebut ‘mualaf’ Muhammadiyah, Red). Saat SMA, saya mulai merasakan sesuatu yang berbeda dengan orangtua saya. Ritual yang diyakini sebagai ibadah oleh keluarga, terkadang mulai saya pertanyakan dasarnya. Tetapi jawaban yang selalu saya dapat adalah opojare mbahe (apa kata mbah),” tutur Suprapno.
Pria asal Surabaya ini menyampaikan salah satu anugrah yang dia dapatkan dalam pencarian keputusan ber-Muhammadiyah adalah dipertemukan dengan Zumaroh, perempuan yang sekarang menjadi istrinya.
Sebagaimana diceritakan Nadjib Hamid saat memandu sesi berbagi kisah di bus. Dia membenarkan pasangan suami istri ini adalah pejuang-pejuang luar biasa.
“Mereka jatuh hati pada pandangan pertama ketika sama-sama naik bus umum menuju Jombang. Saat itu Zumaroh dalam perjalanan pulang dari menjenguk adiknya di Mojokerto. Sedangkan Suprapno dalam perjalanan kerja ke Jombang,” ungkap Nadjib menirukan apa yang pernah diceritakan Zumaroh 30 tahun lalu.
“Ha-ha-ha… Saya tertarik padanya karena saat itu dia masuk majalah Suara Muhammadiyah. Seorang guru dan aktivis Muhammadiyah. Tiga bulan kami bertemu dan langsung menikah. Saya merasa dialah yang akan menguatkan keputusan saya ber-Muhammadiyah setelah perjalanan saya berkeliling dari kajian demi kajian untuk mendapatkan jawaban dasar-dasar ibadah saya,” ujarnya sembari tertawa kecil dan sesekali melihat istrinya.
Suprapno bersyukur, dari pernikahannya, dia bisa mengenal tokoh Muhammadiyah yang sekarang sebagai Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
“Beliau adalah teman istri saya saat masih aktif di Ikatan Pelajar Muhammadiyah Lamongan dulu. Setelah menikah dan tinggal di Sidoarjo, kami terpisah tak pernah bertemu, putus komunikasi bertahun-tahun lamanya dengan beliau. Lalu ketika lahir putra keempat, saya melihat beliau di televisi. Saat itu beliau menjabat sebagai Komisioner Komisi Pemilihan Umum Jatim,” jelasnya. Pria yang suka membaca buku ini mengaku bergegas mencarinya ke Surabaya.
“Saya menemukan Pak Nadjib di Masjid Ummul Mu’minin Baratajaya Surabaya. Beliau mengelola masjid itu. Aktivitasnya dihabiskan untuk berdakwah dalam Muhammadiyah. Subhanallah, tergetar rasanya hati ini. Semakin kuat langkah saya untuk berjuang di persyarikatan bersamanya,” ungkapnya.
Bagi Suprapno, kehadiran Muhammadiyah dalam hidupnya telah mengubah nilai spiritual yang selama ini ditanamkan keluarga.
“Saya semakin mantap beribadah karena tahu dasar ibadah yang saya lakukan sesuai Alquran dan Sunnah. Bukan lagi jare mbahe,” kesannya.
Sementara itu, Zumaroh menceritakan suaminya tak pernah mengeluh dengan aktivitasnya ber-Aisyiyah.
“Dia sudah paham bahwa saya sudah aktif di persyarikatan sejak masih muda. Saya mendirikan Aisyiyah di Gempol Pading Sukodadi, Lamongan. Sekarang, suami selalu mendukung apa pun aktivitas saya di Aisyiyah dengan ikhlas. Tak pernah mengeluh meski sering saya tinggal ber-Aisyiyah,” ucap perempuan asal Lamongan ini.
Menurutnya, ber-Muhammadiyah itu saling menguatkan keimanan satu sama lain, utamanya dalam keluarga.
“Saya meyakini itu dari Pak Nadjib. Saat saya hamil putra pertama, beliau datang ke rumah Sidoarjo. Mengajak saya dan suami untuk aktif kembali di Persyarikatan. Sempat saya jawab kok tega lihat saya hamil lalu menyuruh saya aktif. Namun beliau menjawab hamil itu bukan penghalang dakwah. Sungguh jawaban yang menggerakkan hati,” tegasnya.
Kepada PWMU.CO, Zumaroh menyampaikan makna Aisyiyah dalam hidupnya tak sekedar sebuah organisasi, tetapi sebagai ibu baginya saat remaja.
“Dulu saat di IPM, saya seperti tak punya ibu. Lalu saya mengundang ibu-ibu di rumah H Syamsul. Di kediaman pendiri Muhammadiyah itulah Aisyiyah Gempol Pading Sukodadi Lamongan dibentuk. Bu Rufiah menjadi ketuanya,” kisahnya.
Bagi Zumaroh, Aisyiyah adalah jalan dakwah. Dia merasa nyaman karena punya komunitas seideologi sehingga semakin mantap. (Ria Eka Lestari)