PWMU.CO – “Urip iku Urup. Manungsa minangka salah sawijining titah kang rinipta dening Gusti Allah, nduweni jejibahan supaya tansah manembah lan tuhu marang Gusti Allah,” kutipan buku Damar Ublik ini dibacakan oleh penulisnya, Ir Dodik Priyambada, dalam wawancara khusus dengan PWMU.CO.
Dalam kutipan itu, dia ingin menyampaikan bahwa hidup itu nyala. “Manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan Allah, punya kewajiban untuk senantiasa menyembah dan patuh pada Allah,” ungkapnya memberi makna, kepada PWMU.CO, Rabu (7/3/18).
Berita Terkait: Damar Ublik, Cara Aktivis Muhammadiyah Ini Dakwah dengan Bahasa Kaumnya, Simak Videonya!
Apa yang dilakukan Dodik—sapaan akrabnya—dengan menulis cerita berbahasa Jawa itu, tentu menarik, di tengah maraknya buku bacaan berbahasa Indonesia dan bahasa asing. Ternyata masih ada yang peduli dengan bahasa Jawa. Dan yang menarik, itu dilakukan oleh seorang insinyur teknik sipil dan aktivis Muhammadiyah.
Di tengah kesibukannya sebagai Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Gresik, Dodik masih menyempatkan diri untuk menulis tulisan cekak (esai) berbahasa Jawa. Ini sekaligus membuktikan kepedulian warga Muhammadiyah terhadap kelestarian budaya Jawa.
“Damar itu lampu. Ublik, salah satu jenis lampu kecil, ada sumbunya, ditaruh di tempat yang kecil, bahan bakarnya dari minyak tanah. Jadi, kalau menyala, ublik akan menerangi sekitarnya walaupun bukan lampu yang besar sehingga saya mengambil judul ini dengan harapan walaupun buku ini adalah sebuah karya kecil saya, saya ingin buku ini bisa bermanfaat untuk orang lain,” tuturnya saat ditanya tentang judul bukunya Damar Ublik.
Ditemui di rumahnya Perumahan Krembangan Asri (GKA) Gresik, Kamis (15/2/18) tiga pekan lalu, dia menyampaikan buku Damar Ublik adalah buku yang berisi kumpulan esai. Salah satunya tentang putrinya Danastri Kirana Melatiyang meninggal pada usia satu tahun satu bulan. Ada dua tulisan tentang putrinya itu dalam Damar Ublik, yaitu “Lintangku” (Bintangku) di halaman 1 dan “Kapang” (Kangen) di halaman 27.
Selain itu, menurut Dodik, salah satu yang menarik dalam buku ini adalah tulisan tentang falsafah hidup yang diajarkan orang-orang tua zaman dulu yaitu sesanti urip iku urup.
“Urip iku urup mengandung makna bahwa orang hidup itu harus bermanfaat bagi orang lain. Itu dilambangkan dengan urup. Urup itu memberikan nyala, memberikan penerangan bagi sekitarnya,” kata Dodik yang berharap, bersamaan dengan kegiatan literasi sebagai gerakan nasional, para penulis bahasa Jawa harus bangkit.
Dalam perspektif dakwah, menurutnya, tulisan bahasa Jawa bisa menjadi media kultural seperti yang digulirkan Muhamamdiyah. “Dakwah kultural, sebuah pendekatan dakwah yang menurut saya lebih efektif. Karena dengan kita menggunakan media kultur atau budaya itu masyarakat lebih mudah untuk memahami,” ungkapnya.
Kepada PWMU.CO, alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini mengaku banyak yang menanyakan tentang kemahirannya menulis bahasa Jawa, padahal dia lulusan teknik.
“Ha-ha-ha. Saya sejak balita itu sudah mengenal budaya Jawa. Saya suka pergi nonton wayang bersama nenek saya. Kebetulan dalam perjalanan saya sampai remaja, saya berkesempatan menjadi MC pengantin berbahasa jawa. Saya juga aktif membaca majalah berbahasa Jawa,” jelas pria kelahiran Nganjuk, 14 Mei 1966 ini. (Tari/Nazar/Zaki)