Selain untuk meluruskan keyakinan masyarakat Mekkah, penghilangan kata Allah pada wahyu-wahyu pertama ini juga untuk membedakan “Tuhannya” Muhammad dan Tuhan yang dimaksud masyarakat Mekkah umumnya. “Tuhan Muhammad tidak membutuhkan pendamping atau perantara, sementara sebagian masyarakat Mekkah berkeyakinan sebaliknya,” sebagaimana ditulis oleh M. Quraish Shihab dalam “Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat”.
Masyarakat Mekkah secara fisik memang menyembah berhala dan juga melakukan berbagai pengorbanan dan ritual, tetapi tujuan utama mereka adalah Tuhan. “Paganisme yang dipraktikkan masyarakat Mekkah sebenarnya juga tidak lepas dari agama Ibrahim, haniifiyyah,” jelas Jonathan P. Berkey. “Hanya saja dengan perkembangannya terdapat ragam improvisasi dan inovasi sebagai hasil perjumpaan dengan agama dan budaya lain, sehingga terjadi penyelewengan.”
Kronologi perubahan ajaran hanifiyyah menjadi wathaniy ini terjadi ketika Mekkah masih dipimpin oleh Suku Khaza’ah, tepatnya Amr bin Luhay. Suatu hari dia melakukan perjalanan ke Syam, dan di sana dia melihat penduduknya menyembah berhala. Dia pun menganggapnya sebagai sesuatu yang baik karena Syam adalah tempat para Rasul dan kitab.
“Ketika dia pulang, maka dibawalah sebuah patung dan meletakkannya dekat Ka’bah, dan memerintahkan penduduk Mekkah untuk memuliakannya,” jelas Sayed Abul Hasan Ali Nadwi dalam “Muhammad The Last Prophet: A Model For All Time”.
Pada sisi lain, masyarakat Mekkah juga senang memuliakan batu-batu yang ada di sekeliling Ka’bah. Ketika bepergian, mereka selalu membawa batu tersebut untuk kemudian thawaf mengelilingi batu yang dibawanya itu. Setelah tahunan, batu dari sekitar Ka’bah yang dibentuk menjadi patung itu berada di berbagai tempat. “Patung-patung dan berhala itu mereka kumpulkan di sekitar Ka’bah,” lanjut Ali Nadwi yang juga dibenarkan oleh sejarahwan A. Syalabi.
Sementara inti dari haniifiyyah tentang keesaan Allah swt adalah sama dengan ajaran Islam yang didakwahkan Muhammad. Untuk mengambil kesimpulan yang kedua ini, Berkey menggunakan kalimat yang cukup hati-hati.“…In this light, the phenomenon of the hanifiyya might indicate, once again, that Islam’s origins, even in the Arabian environment, were very much a part of wider religious patterns embracing the whole of the Near East…”.
Menurut Abu ‘Ubaydah, kelompok haniifiyyah adalah orang-orang yang mengikuti ajaran tauhid Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. “Pengikut agama ini diidentikkan dengan mereka yang melaksanakan khitan dan berhaji,” jelas Abu ‘Ubaydah dalam “Majaaz al-Qur’an” Juz 1.
Di antara penganut agama haniifiyah yang murni adalah Zayd bin ‘Amr, Ustman bin al-Huwayrisy, ‘Ubaydillah bin Jahsy, dan Waraqah bin Nawfal. Selain tidak mau beribadah yang harus melalui perantara, keempatnya juga tercatat mengembara ke berbagai wilayah untuk menemukan hakikat beribadah kepada Allah SWT. “Zayd bin ‘Amr pergi ke Syria dan Iraq, Ustman menempuh perjalanan ke Romawi Timur, sementara Waraqah hijrah ke Ethopia,” jelas Husain Haekal.
Selain keempatnya, Syalabi juga menambahkan nama Quus ibn Saydah al-Ayyaadiy dan ‘Umayyah ibn Abiy al-Shalt al-Thaqafiy. Bahkan Hodgshon juga menyebut Muhammad adalah penganut syari’at ini sebelum diangkat sebagai Rasul dan Nabi. Namun, Husain Haekal berpendapat ritus yang dilakukan Muhammad sebelum kenabian tidak menganut syariat Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Nuh, Nabi Musa, maupun Nabi Isa. “Lebih dapat dipastikan, Muhammad menganut dan mengamalkan syariat,” tulis Husain Haekal tanpa menyebutkan syariat apa dan siapa.
Berbagai fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Mekkah sebenarnya kaum beriman. Hanya saja keberimanan ini tidak dibarengi dengan keunggulan dalam ilmu, sehingga sikap baik ini justru berakibat pada penyekutuan Tuhan. Kehilangan tauhid sebagai ruh kehidupan membuat mereka terjebak pada perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan Allah swt.
Meski demikian, “keteguhan” kepercayaan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya menjadi poin penting yang cukup penting dijadikan i’tibar untuk kaum beriman kekinian.
Bersambung (muh kholid as)