PWMU.CO – Kedatangan bulan Ramadhan dan Idul Fitri tahun 2018 ini diprediksi akan berlangsung bareng, seperti tahun 2016 maupun 2017. Baik oleh kalangan yang berpegang pada hisab maupun (imkanur) rukyah. Awal puasa Ramadhan 1439 H akan jatuh pada hari Kamis Pahing, tanggal 17 Mei 2018. Sementara Idul Fitri pada hari Jum’at Legi, tanggal 15 Juni 2018.
“Dengan demikian, warga Muhammadiyah, dan umat Islam se-Indonesia akan memulai shalat tarawih sejak hari Rabu malam 16 Mei 2018 atau malam Kamis,” jelas Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Nadjib Hamid MSi, kepada PWMU.CO (11/3). Seperti tahun 2017 M atau 1438 H lalu, usia bulan Ramaadhan tahun 2018 atau 1439 H ini juga hanya 29 hari.
Menurut Nadjib, dengan mengambil markaz Yogyakarta, kebersamaan penyambutan awal Ramadhan ini terjadi karena posisi hilal saat terjadi ijtimak (konjungsi) akhir Sya’ban 1439 H masih minus derajat. “Awal Ramadhan dipastikan bareng karena saat akhir bulan Sya’ban, ijtimak terjadi setelah matahari terbenam, dan posisi hilal saat matahari terbenam masih minus 0 derajat sekian menit.”
Dalam perhitungan hisab haqiqi wujudul hilal yang dipedomani oleh Muhammadiyah, disebutkan bahwa ijtimak jelang Ramadhan terjadi pada hari Selasa Kliwon, 15 Mei 2018 M pada pukul 18:50:28 wib. Tinggi Bulan pada saat terbenam Matahari, di Yogyakarta = -00 derajat 02′ 50′ (hilal belum wujud).
“Dan di seluruh wilayah Indonesia, pada saat terbenam Matahari itu, posisi rembulan atau bulan sabit berada di bawah ufuk. Karena hilal belum wujud, maka usia bulan Sya’ban akan genap 30 hari. Sehingga 1 Ramadhan 1439 H jatuh pada 17 Mei 2018 M,” tegasnya.
Nadjib menambahkan, kebersamaan juga akan terjadi pada Idul Fitri 2018 dengan lebih jelas lagi. Sebab, saat terjadi ijtimak akhir bulan Ramadhan ke Syawal, posisi hilal sudah sangat tinggi, dan bisa dilihat oleh orang awam dengan mata telanjang sekali pun. “Untuk Idul Fitri 2018, ijtimak jelang Syawal 1439 H terjadi pada Kamis, 14 Juni 2018, pada pukul 02:45:53 wib.”
Tinggi Bulan pada saat terbenam Matahari, di Yogyakarta sudah berada pada angka 07 derajat 35′ 20′, dan hilal sudah wujud. Dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat terbenam Matahari, posisi rembulan (Bulan) sudah berada di atas ufuk. “Sehingga 1 Syawal 1439 H atau yang lebih dikenal dengan Lebaran Idul Fitri jatuh pada Jum’at, 15 Juni 2018,” tegas Wakil Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Timur itu.
Meski demikian, Nadjib tidak menampik jika ada kemungkinan perbedaan hari dan tanggal Idul Fitri ini. Terutama bagi kalangan yang menggunakan metode “rukyah” murni, jika terhalang awan atau hujan.
“Karena sekarang sedang musim hujan, bisa saja akan ada kesulitan untuk melihat hilal pada tanggal 29 Ramadhan 1439 H nanti. Jika konsisten, berarti usia bulan Ramadhan akan digenapkan menjadi 30 hari, sehingga tanggal 1 Syawal jatuh pada 16 Juni 2018,” jelas Nadjib.
Bagi kalangan “rukyah” murni, memang keterlihatan hilal secara telanjang mata merupakan syarat mutlak untuk menentukan tanggal hijriah. Meski dalam sains astronomi sudah wujud dan bisa dilihat, mereka kekueh pada “mata” untuk melihatnya. Jika tidak terlihat, otomatis bulan akan ditambah 1 hari lagi.
“Karena sedang dalam musim hujan, terbuka kemungkinan adanya kelompok yang akan merayakan Idul Fitri tahun ini pada Sabtu, 16 Juni nanti,” jelas Nadjib. Meski, tambah Nadjib, posisi posisi hilal saat matahari terbenam tanggal 14 Juni 2018 berada di angka 7 derajat. Sebuah posisi hilal yang sangat mudah untuk dirukyah (bahkan secara kasat mata), jika keadaan tidak sedang mendung atau hujan..
“Sementara mereka yang berdasarkan metode imkanur rukyah, mereka berpandangan bahwa jika posisi hilal sudah berada di atas 2 derajat, sudah dinilai masuk bulan baru,” jelas Nadjib.
Perlu diketahui bahwa setidaknya terdapat dua metode dalam penetapan awal bulan hijriah: rukyah dan hisab. Keduanya berpijak dari Hadits Rasulullah “shumu lirukyatihi wa aftiru lirukyatihi”. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, selain rukyat bil’ain (mata telanjang), juga dilakukan rukyat bil ilmi (rukyat melalui perhitungan ilmiah), yang kini lebih dikenal dengan ilmu hisab atau ilmu falak.
Dalam sistem rukyat bil’ain, atau lazim disebut rukyah saja, mengharuskan seseorang melihat hilal tanggal 29 bulan Qamariyah. Jika hilal dapat dilihat ketika matahari terbenam (saat terjadinya ijtima’), maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai bulan baru. Jika tidak, disempurnakan (istikmal) menjadi 30 hari.
Sementara dalam hisab, di Indonesia ada dua aliran: haqiqi dan urfi. Hisab urfi adalah sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional.
Sedangkan hisab haqiqi didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya, bahwa umur tiap bulan tidaklah konstan dan juga tidak beraturan, tergantung posisi hilal setiap awal bulan. Sehingga boleh jadi dua bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari atau boleh jadi bergantian.
Sejak Muktamar Jakarta (2000), Muhammadiyah memutuskan menggunakan sistem hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal dan mathla’ nasional, yang lebih disempurnakan lagi dalam Munas Tarjih ke-26 di Padang (2003).
Menurut wujudul hilal yang dipedomani Muhammadiyah, bulan baru qamariyah terjadi jika telah memenuhi tiga kriteria, yang penggunaannya harus terpenuhi sekaligus. Yakni, telah terjadi ijtima’; Ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam; dan Piringan/hilal berada di atas ufuk. (kholid)