PWMU.CO-Digitalisasi demokrasi menjadi fenomena tak terelakkan. Media sosial menjadi pilihan efektif untuk berkampanye dalam pemilihan umum karena lebih bebas, belum ada aturannya, dan murah.
Demikian disampaikan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti yang hadir dalam diskusi publik pilkada memperingati 2 tahun PWMU.CO di Aula Mas Mansur PWM Jawa Timur, Ahad (25/3/2018).
Menurut Mu’ti, media sosial menjadi pilihan efektif kampanye karena media cetak dan elektronik biayanya terlalu tinggi. Sementara mengumpulkan massa untuk kampanye salah satu hal yang dibatasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Alhasil, media sosial yang cenderung bebas regulasinya menjadi pilihan.
Namun portal-portal berita online, sebut Mu’ti, adalah piranti yang cukup berisiko. “Banyak akun-akun yang dibuat bertujuan mengintervensi publik. Menulis dan menyebarkan opini untuk intervensi adalah potensi kuat dalam penyelenggaraan pemilu tahun ini,” ujar Mu’ti yang juga dosen UIN Syarif Hidayatullah.
Potensi laten media sosial sebagai alat intervensi menjadi pertarungan tersendiri bagi pasangan calon kepala daerah. “UU Pers hanya mengatur media cetak, KPI mengatur media penyiaran alias broadcasting. Oleh karenanya, media sosial tidak bisa menjadi tanggung jawab KPI maupun polisi karena tidak termasuk dalam keduanya. Inilah celah yang sangat mudah dimanfaatkan,” imbuhnya.
Pertarungan dalam konteks demokrasi, menurut Mu’thi, adalah pertarungan 3M. Dia menguraikan, yang pertama Money, bila hal ini terjadi maka yang terjadi tidak sekadar kandidasi buying tapi juga vote buying. Jika vote buying terjadi maka kualitas tidak ada lagi.
“Finansial yang kuat bisa menyokong partisipasi yang masif. Tapi bukan dimaksudkan untuk politik uang atau money politics,” ujarnya.
Politik uang seringkali yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menjahili para kandidat. Apalagi para kandidat kepala daerah kerap maju ke medan politik dengan pamer kekayaan. “Mumpung calon butuh, maka masyarakat menjadikan ini sebagai kesempatan empuk,” tutur Mu’ti.
M yang kedua, sambung dia,yakni Massa. Pemilu saat ini mengandung banyak potensi keliru. Artinya, banyak kandidat yang seakan-akan baik, tetapi yang ditampakkan saat sudah menjabat jauh berbeda. Karena itu massa pemilih harus cerdas melihat hal tersebut.
“Pilihan langsung itu tidak selalu menghasilkan yang terbaik, namun saat ini cara inilah yang saat ini disepakati digunakan,” kata Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah periode 2002-2006 ini.
Sementara M ketiga yaitu Moral. Dengan memiliki moral yang kuat, masyarakat tidak akan mudah terbeli. “Demokrasi dan pemilu bukan segala-galanya. Masyarakat jangan mudah menggadaikan suaranya,” tegas Mu’ti.
Pemilu itu, sambung dia, proses untuk memilih yang baik maka caranya juga harus baik. Oleh karenanya harus kita pastikan proses pemilu ini adalah proses yang bermoral, berkeadaban, yang mencerminkan keluhuran akhlak dan keadaban bangsa Indonesia khususnya peradaban dan keadaban warga Muhammadiyah.
Di penghujung paparannya dia menekankan, pemilih Muhammadiyah punya integritas moral yang memilih karena pertimbangan ideologis sehingga kita memilih dengan mantap walaupun kalah. (Isna, Enik)
Discussion about this post