PWMU.CO – Dalam kesempatan menyampaikan Orasi Politik pada Kongres Ulama Nusantara; Konsolidasi Ulama NU se-DI Yogyakarta di Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, Ahad (1/4), Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar begitu bersemangat menyampaikan niatnya untuk maju sebagai calon wakil presiden (cawapres). Berikut adalah catatan Sekretaris Harian Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), DR Ma’mun Murod Al-Barbasy.
Niat Cak Imin menjadi cawapres, tujuannya konon untuk membawa aspirasi Nahdatul Ulama (NU) agar tak terus-menerus terpinggirkan. Saat menyampaikan niatnya ini, Cak Imin secara tegas menyampaikan alasannya untuk maju sebagai cawapres seraya menyudutkan dua pihak, yaitu Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Mendikbud Muhadjir Effendy.
Cak Imin mengatakan, bahwa saat ini Wapres Jusuf Kalla memang berlatar belakang NU. Namun, Jusuf Kalla itu kurang berkontribusi terhadap Nahdliyin. Cak Imin mencontohkan, bagaimana seharusnya sebagai mustasyar, Jusuf Kalla menolak kebijakan sekolah sehari penuh (full day school) yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Meski pun saat itu Presiden memberikan persetujuan.
Sebagai warga NU, kata Cak Imin, mestinya Jusuf Kalla bersikap tegas dengan menolak kebijakan itu karena akan berdampak pada sistem pendidikan pesantren yang merupakan basis warga Nadhiyin. “Jika Jusuf Kalla bersikap tegas, saya dan pengurus PKB mau pun PBNU tidak akan berkerja keras menentang kebijakan ini. Keberhasilan ini juga karena bersatunya seluruh warga NU baik informal maupun kultural,” katanya.
Kalau pernyataannya terkait Jusuf Kalla yang dinilai kurang berkontribusi terhadap NU itu urusan internal. Saya tak perlu komentar. Namun ketika Cak Imin masih juga menyinggung soal FDS, saya rasa tidak tepat. Soal FDS sudah selesai. Setahu saya, Mendikbud Muhadjir Effendy juga pernah menyatakan bahwa saat Rapat Komisi X sudah dijelaskan, Fraksi PKB juga sudah tahu itu.
Tak heran jika ada beberapa orang yang mengatakan kurang elok tentang Cak Imin terkait FDS ini. “Dia (Cak Imin) memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu kalau full day school itu fitnah yang dia bikin,” begitu kira-kira. Pernyataan ini wajar, karena saat itu entah berapa kali, termasuk di hadapan LP Maarif NU dan PBNU, Mendikbud menjelaskan bahwa dirinya tak ada niatan sedikitpun untuk mematikan madrasah diniyah maupun pesantren.
Pernyataan Cak Imin di Yogyakarta terkait FDS memang seakan membuka luka lama yang sudah mulai sembuh. Pernyataan Cak Imin juga menjadi tidak berdasar bila menilik kontribusi alokasi anggaran di Kemendikbud yang justru lebih banyak disalurkan ke lembaga-lembaga pendidikan milik NU.
Saya sendiri pernah diberitahu salah seorang Direktur di Kemendikbud bahwa perbandingan bantuan pendidikan tahun 2017 yang dialokasikan untuk lembaga pendidikan Muhammadiyah itu jumlahnya sangat kecil, hanya sepertiga dari yang diberikan kepada lembaga pendidikan milik NU. Saya juga pernah dikasih tahu list bantuan dari Direktur yang lain di Kemendikbud, yang ternyata jumlah lembaga pendidikan milik NU yang mendapat bantuan jauh lebih banyak dari yang diberikan ke Muhammadiyah.
Bukan hanya bantuan, kunjungan Muhadjir Effendy ke lembaga-lembaga pendidikan atau pesantren milik atau yang berafiliasi ke NU juga termasuk sangat sering. Belum lama misalnya, saya ikut mendampingi Mendikbud dalam peresmian unit sekolah baru bantuan Kemendikbud 2017 SMK Hasbullah Tambakberas Jombang.
Juga Sekolah Terpadu FDS milik Pesantren Bahrul Huda Tuban yang diasuh oleh KH. Fathul Huda yang juga Bupati Tuban. Lagi pula kalau dikatakan kebijakan FDS mematikan madrasah diniyah dan pesantren, rasanya perlu juga diajukan data terkait madrasah dinitah atau pesantren yang mati karena kebijakan FDS.
Sebagai orang yang sedang berikhtiar menjadi wapres harusnya memang tidak bicara sembarangan yang bisa melukai banyak pihak. Saya mencoba melihat pernyataan Cak Imin dalam perspektif politik. Untuk memperkuat modal social, Cak Imin sedang mencoba membangun kohesivitas warga nahdliyin.
Namun caranya tidak cukup elok, mengadu domba, fitnah dan ngompori. Apa tidak ada cara lain yang lebih elok dan santun untuk membangun kohesivitas warga Nahdliyin? Saya yakin, tidak semua warga nahdliyin juga bersepakat dengan cara-cara yang dilakukan Cak Imin.
Kalau cara-cara seperti ini terus dilakukan, saya kok tidak yakin Jokowi akan melirik Cak Imin. Bahkan capres lain pun bisa jadi akan menolaknya. Kalaupun Jokowi akan mengambil cawapres dari kalangan Nahdliyin, saya yakin Jokowi akan merasa nyaman mengambil tokoh NU lainnya.
Begitu pun capres di luar Jokowi juga akan nyaman mengambil cawapres di luar Cak Imin. Keengganan mengambil Cak Imin sebagai cawapres ini bisa jadi akan semakin kuat kalau menengok kembali ke belakang kasus konflik antara Cak Imin dengan Gus Dur.