PWMU.CO – Siang itu di bawah terik panas matahari, menjelang shalat Dhuhur, saya larut dalam arus thawaf yang tidak pernah berhenti sedetik pun, kecuali shalat tengah didirikan. Mengitari Kabah, berdesakan, bahkan untuk mencium Hajar Aswad harus berebut dengan keras.
Ada apa dengan Ka’bah, bangunan klasik yang andaikata tanpa kiswah hitamnya pasti tampak sangat sederhana, nyaris tanpa sentuhan artistik, juga tanpa suguhan adiluhung arsitektur.
Amat berbeda misalnya dengan Candi Borobudur di Indonesia, juga dengan piramid di Mesir. Adalah mencengangkan, jika kemudian Ka’bah mengalahkan keduanya dalam hal menarik minat begitu banyak orang untuk mendatanginya, bahkan mengitarinya tujuh kali, bahkan lagi nyaris tanpa henti siang dan malam.
Untuk dapat menalarnya, orang harus berjibaku menguak dimensi isoteriknya (sisi dalam) dan mengabaikan dimensi eksoteriknya (penampakan).
Rasanya inilah dimensi isoterik tersebut: Pertama, Ka’bah dinashkan dengan sebutan Baitullah, sebuah penegasan sakralisasi dan teologisasi bangunan.
Kedua, Ka’bah adalah (simbol) keabadian. Beberapa sumber menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim yang membangunnya, bahkan ada yang menyebut Nabi Adam.
Ketiga, tawhidul ummah. Ibadah haji dan umrah mencerminkan bahwa Baitullah ini menyatukan umat dengan berbagai latarbelakang ras dan kebangsaan.
Keempat, Ka’bah merupakan simbol fisik dialog antara hamba dengan Allah. Tidak saja dalam kontek haji dan umrah, tetapi juga shalat, sebagai arah menghadapkan wajah.
Setidak-tidaknya itulah dimensi isoterik bangunan berkiswah hitam ini.
Ya Allah, berikan tambahan kemuliaan Rumah-Mu ini! (*)
Makkah, 12 April 2018
Catatan M Saad Ibrahim, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.