PWMU.CO – Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Konon, ia diambil dari tanggal kelahiran pendiri sekolah Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara, 2 Mei 1889. Kabarnya lagi, Hardiknas ini merupakan penghargaan atas jasanya dalam memajukan dunia pendidikan. Terutama karena mendirikan Taman Siswa pada 1922, perguruan yang menekankan rasa kebangsaan kepada peserta didik.
Sebagai sebuah catatan sejarah yang sudah berlangsung, tentu siapa saja boleh sepakat dengan “penghargaan” Hardiknas ini. Namun, ternyata tidak sedikit pula yang “menggugat” tanggal 2 Mei ini sebagai Hardiknas. Apalagi jika dikaitkan dengan peran Ki Hajar Dewantara lewat Taman Siswa. Iya, Taman Siswa memang mengajarkan peserta didik mencintai bumi pertiwi, tapi bagaimana jika ada orang lain yang telah mendahuluinya dalam menanamkan nasionalisme lewat pendidikan?
Sejarah mencatat, 11 tahun sebelum Taman Siswa berdiri, KH Ahmad Dahlan sudah mendirikan sekolah yang juga menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik. Bahkan dari rahim sekolah yang dirikan pendiri Muhammadiyah ini, yang lantas menggurita hingga kini, lahir berbagai tokoh yang sangat berjasa kepada bangsa ini. Tidak sedikit diantaranya yang dianugerahi negara sebagai pahlawan nasional atas peran mereka dalam merebut maupun mengisi kemerdekaan Indonesia.
Cerita pendirian sekolah oleh KH Ahmad Dahlan ini secara elok direkam oleh muridnya, KH Muhammad Syoedja’. “Walaupun tidak kurang sempit balai rumah tangganya, namun sekolah itu dilaksanakan juga, sekalipun dengan secara kecil yang tidak dapat menerima murid banyak. Yaitu di ruang kamar tamu yang selebar ± 2,5 x 6 meter, dengan kamar tamunya.”
Masih menurut Syoedja’, ruang kelas itu menggunakan tiga meja dan tiga bangku sekolah yang terbuat dari kayu jati putih dari luar negeri. Yaitu kayu bekas peti kain putih (muslim) serta satu papan board dari kayu suren. “Murid-murid terdiri sembilan orang anak pada permulaannya. Kalau sudah tambah tiga orang murid, baru ditambah satu meja dan satu bangku sekolah lagi.”
“Sedikit demi sedikit berjalan terus, menginjak bulan yang keenam murid sudah mendekati bilangan 20 orang anak. Mulai bulan ketujuh sekolahan itu dapat sumbangan guru umum dari Boedi Oetomo, terdiri dari pada aspiran guru tamatan Kweekschool yang belum menerima penetapan dari Gouvernement,” jelas Syoedja’ sambil mencatat guru bantuan ini saling berganti. Diantaranya ada yang bertugas hanya sebulan, satu setengah bulan, dan yang paling lama adalah dua bulan.