PWMU.CO – Hari-hari ini saya seperti terkena “karma” politik. Kata karma sengaja diberi tanda kutip, karena sejatinya dalam Islam tidak mengenal kosa-kata tersebut. Gara-gara sering menyampaikan kepada publik bahwa, “Politik itu penting dan harus diakrabi dengan makruf, mengingat tidak ada satu sisi pun dalam kehidupan berbangsa ini yang terlepas dari kebijakan politik,” maka kali ini seolah diminta membuktikan, sekaligus sebagai best practice dalam berpolitik, bukan teori-teori yang rumit. (Berita terkait: Muhammadiyah Jatim Resmi Usung Zainuddin Maliki untuk DPR RI dan Nadjib Hamid DPD RI)
*
Seperti diketahui, akibat terlalu lama tidak bersentuhan dengan dunia politik praktis, warga dan pimpinan Muhammadiyah (termasuk Aisyiyah) umumnya apatis terhadap politik. Apalagi dalam praktiknya sebagian politisi negeri ini cenderung menghalalkan segala cara dalam merengkuh kekuasaan dan kekayaan, tak pelak memunculkan kesimpulan bahwa politik itu kotor dan harus dijauhi.
Pada gilirannya, di lingkungan Persyarikatan muncul phobia politik, atau setidaknya gagap dalam menyikapi dinamika politik aktual, termasuk dalam menghadapi kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada), yang berujung pada ketegangan internal yang tidak perlu.
Padahal al-Quran Surat al-Haj ayat 41, melukiskan dengan sangat indah mengenai pentingnya kekuasaan politik dalam penegakan rukun Islam, dan efektif bagi pelaksanaan dakwah amar makruf nahi munkar.
Undang-Undang Zakat misalnya, adalah salah satu contoh keputusan politik terkait pelaksanaan rukun Islam ketiga, yang telah menjadi hukum positif di negeri ini. Contoh lainnya, pusat kemunkaran berupa lokalisasi prostitusi di Surabaya yang sudah mengakar ratusan tahun pun bisa dibersihkan oleh kebijakan politik penguasa setempat.
Jadi, jika kekuasaan politik dipegang orang-orang yang punya komitmen agama, akan sangat efektif untuk dakwah.
Dengan demikian, politik itu sangat penting dan tidak bisa dihindari dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada satu sisi pun dalam kehidupan ini yang tidak terkait dengan kebijakan politik.
Kita boleh bilang politik tidak penting, terpenting memajukan program bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Tapi kalau pemerintah tidak memberi izin, sia-sia belaka program yang bagus-bagus itu.
Kasus pendirian Fakultas Kedokteran (FK) UMSurabaya adalah salah satu contoh nyata. Proses pendiriannya sempat terkatung-katung lama, gara-gara pemegang kendali kebijakan politik waktu itu tidak sejalan dengan Muhammadiyah. Baru terkabul, setelah rezim berganti.
Tentu, politik dalam konteks ini tidak selalu identik dengan partai politik (parpol). Hakikat politik adalah lobi dan komunikasi. Oleh karena itu dalam implementasi¬nya harus cair, tidak perlu dibatasi oleh sekat partai atau golongan apa pun. Semua kekuatan besar dan berpengaruh harus diajak komunikasi dan dilobi.
Pendiri Muhammadiyah, telah memberi contoh tentang hal tersebut. Disebutkan, Pak Kiai Dahlan pada awal mendirikan Muhammadiyah, juga bergabung dengan Boedi Oetomo untuk belajar keorganisasian. Sehingga dokter Soetomo selaku pendiri Boedi Oetomo pun bersedia gabung dengan Ormas Islam bersimbol matahari ini, bahkan memimpin amal usaha kesehatan (klinik) Muhammadiyah di Surabaya.
Beliau juga kerap mengundang tokoh ideology lain untuk mengisi kegiatan di Muhammadiyah. Ketika ditegur oleh kawan seperjuangannya, beliau hanya bilang: ambillah yang baik darinya.
Misalnya, seusai membentuk Aisyiyah, Kiai Dahlan mengundang tokoh komunis dari Kepanjen, Malang, Woro Sastroatmojo. Dengan bersemangat, Woro dan satu rekannnya secara fasih menguraikan gerakan Sarekat Islam “Merah” dengan tegas dan lancar.
“Bukan intisari pidatonya si pembicara, melainkan tegak-tegap, sigap cakap-cukupnya wanita pembicara dan semangatnya,” tulis Kiai Syuja’, murid langsung Kiai Dahlan, tentang maksud mengundang tokoh komunis itu.
Tak lama berselang, Kiai Dahlan juga menerima permintaan 2 tokoh ISDV (PKI tempo dulu), Semaun dan Darsono, untuk berpidato di rapat terbuka Muhammadiyah. Berbeda dengan rapat Muhammadiyah yang biasanya diawali doa, kali ini langsung dengan ketukan palu sebagai tanda acara telah dibuka.
“Semaun pidatonya menerangkan di sekitar sama rata sama rasa, yang di atas diturunkan, yang di bawah dijunjung,” cerita Syuja’ lagi.
Acara kemudian ditutup setelah 1 jam 45 menit, 2 tokoh komunis itu berpidato. “….ideologi ISDV remeh, yang kotor saja dapat laku dijual kepada manusia, apalagi agama Islam yang datang dari Allah dengan wahyu yang amat suci…” ringkas Syuja’ tentang “mengambil” sisi positif dari pergaulan dengan tokoh PKI.
Belajar dari pengalaman sejarah itu, warga Muhammadiyah/Aisyiyah seyogyanya rileks saja dalam menghadapi isu-isu politik, tidak tegang menanggapi perbedaan pandangan dan pilihan politik. Apalagi menganggap politik sebagai aqidah yang tidak bisa berubah. Mengingat, dalam praktiknya politik itu cair.
Secara historis, kiprah Muhammadiyah di kancah politik kebangsaan luar biasa mencengangkan. Sejarah mencatat peran penting tokoh-tokoh Persyarikatan ini dalam memberikan sumbangsihnya pada negeri ini, baik pra kemerdekaan, saat kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan. Namun seiring kebijakan politik pemerintah yang represif, Muhammadiyah berangsur menjauh, dan dipisahkan dari kegiatan politik.
Alhamdulillah, belakangan ini Pimpinan Pusat Muhammadiyah mulai lebih proaktif dan kooperatif melihat dinamika politik dalam negeri. Setidaknya terlihat dari gerakan konsolidasi awal Maret lalu, yang memandang perlu memfasilitasi kader-kader yang memiliki minat politik untuk turut berkontestasi dalam Pemilu 2019, baik melalui jalur perorangan maupun parpol.
Pasca pertemuan tersebut, Dr Saad Ibrahim menawarkan kepada semua anggota PWM Jatim dan Pimpinan Ortom untuk mengambil peluang dimaksud. Sayangnya, belum ada respon menggembirakan. Semua yang ditawari cenderung menolak, atau setidaknya belum ada yang tegas menerimanya.
Lalu di depan peserta diskusi publik Pilgub Jatim (25/3), Ketua PWM Jatim itu kembali “memprovokasi” saya untuk maju, dan langsung saya jawab bahwa passion saya bukan di situ.
Esuknya (26/3), kawan dari Jakarta bilang bahwa Pak Haedar dan mas Mu’ti pengin banget saya maju DPD RI dari Jatim. Sementara kawan-kawan dari Jatim membuat gerakan kultural yang massif dan sistematis, mengumpulkan foto copy KTP sebagai bentuk keseriusan dukungan.
Meski sudah sering saya nyatakan bahwa saya masih konsentrasi agar mood nulis desertasi yang udah lama kedaluarsa, dan saya berharap berkas dukungan digunakan untuk orang yang lebih maslahah menerjuni bidang tersebut, dan siapa pun yang ditunjuk, insyaallah saya ikhlas mendukungnya, Asal Bukan Saya (ABS), tapi mereka tetep kekeh. “Dukungan sudah masuk. Sudah tidak bisa mundur. Jihad politik harus dibuktikan,” alasan mereka.
Mereka bilang, hampir seluruh Jatim antusias. “Pencalonan panjenengan sebenarnya akan menyuntik semangat kader Muhammadiyah untuk masuk gerbang politik dalam satu paket besar, mulai DPRD Kabupaten/Kota, Provinsi, dan DPR/DPD RI.”
Gelombang dukungan tak terbendung. Setiap detik kiriman copy KTP terus mengalir. Mereka bergerak tanpa menunggu perintah, bahkan ada PDM dan Ortom yang mengeluarkan surat instruksi resmi kepada cabang-cabang untuk menyukseskan.
Saya terharu dan tidak kuasa menahan linangan air mata, melihat antusiasme mereka. Belum pernah saya menyaksikan suasana heroik seperti itu di lingkungan warga Ormas bersimbol matahari ini.
Mempertimbangkan dukungan arus bawah yang demikian kuat untuk perluasan jejaring dakwah, dan mengembalikan peran politik Persyarikatan di masa silam, maka ketika rapat PWM Jatim (20/4) memutuskan saya sebagai satu-satunya calon DPD RI dari PWM Jatim, saya tidak punya pilihan lain kecuali patuh pada putusan organisasi.
Semoga momentum ini menjadi ajang pembuktian bahwa simpul-simpul jejaring dakwah di tingkat bawah masih hidup dan bisa digerakkan. Sekaligus untuk mematahkan tesis sementara ini bahwa elektabilitas seseorang dalam Pemilu dan Pilkada sangat ditentukan oleh isi tas, bukan oleh integritas dan idealitas.
Pertanyaannya, bisakah dibuktikan? “Insyaallah,” jawab Ketua PWM Jatim, Saad Ibrahim meyakinkan, yang langsung diamini oleh anggota pimpinan yang lain.
****
Kolom ini ditulis oleh Nadjib Hamid MSi, Wakil Ketua PWM Jatim yang diwakafkan Muhammadiyah Jatim untuk berkompetisi di Pemilu DPD RI 2019-2024