PWMU.CO – Sabtu ini kita memperingati Hari Kartini. Buku kumpulan surat Kartini ke teman-temannya di Belanda oleh Mr. J.H. Abendanon diberi judul Door Duisternis Tot Licht yang diterjemahkan oleh Armyn Pane menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
Judul versi Melayu ini sebenarnya kurang tepat. Yang lebih tepat adalah Dari Gelap Menuju Cahaya sebagai terjemahan dari beberapa ayat dalam Alquran Min addzulumaat ila an nuur.
Saya percaya bahwa Kartini menulis surat-suratnya itu dengan semangat Alquran sebagai upayanya untuk mengeluarkan bangsanya dari kejahiliyahan penjajahan menuju keterangbenderangan cahaya Alquran yang memerdekakan.
Kemampuan transformatif ini adalah kemampuan Alquran yang diyakini oleh setiap mukmin sejati yang tanpa ragu menjadikan Alquran sebagai pedoman dan Islam sebagai jalan menuju keterangbenderangan dari kegelapan.
Sayang sekali pikiran-pikiran Kartini dalam buku ini telah banyak disalahpahami untuk mensyahkan gerakan feminisme sebagai bagian dari gelombang sekulerisme dan nasionalisme yang melanda banyak negara-bangsa baru di awal Abad 20.
Sesungguhnya feminisme inilah yang menjerumuskan perempuan kembali ke zaman jahiliyah baru setelah derajadnya diangkat ke tempat yang tinggi dan mulia oleh Islam.
Sekulerisme yang diselundupkan melalui sistem persekolahan telah menjauhkan umat Islam dari Alquran dan gaya hidup Islam. Kedaulatan Allah Tuhan YME digusur oleh kedaulatan rakyat dalam negara-bangsa. Selanjutnya, posisi keluarga di mana peran perempuan adalah kunci dikaburkan dengan merampas tugas edukatif dan produktif keluarga.
Tugas edukatifnya dirampas oleh persekolahan sementara tugas produktifnya diambil alih oleh pabrik-pabrik. Akibatnya, masjid sebagai sindikator dalam jejaring keluarga semakin kehilangan peran peradabannya.
Feminisme ditujukan langsung untuk menghancurkan keluarga sebagai satuan terkecil masyarakat. Konsep keluarga sebagai sunah Rasulullah secara perlahan tapi pasti digerogoti. Kebijakan pembangunan yang saat ini dipilih oleh pemerintah seolah bisa dilakukan dengan mengabaikan keluarga. Gaya hidup perempuan urban “child free life style“, dan LGBT adalah buah dari gerakan feminisme ini.
Kebijakan feminisme terakhir adalah menaikkan umur nikah minimal perempuan Indonesia menjadi 21 tahun, mundur cukup lama dari usia aqil baligh perempuan. Konsep usia sekolah ikut memperpanjang masa kanak-kanak warga muda kita. Menikah dini langsung dianggap aib dan dinilai sebagai kekerasan pada perempuan.
Menggantungkan masa depan bangsa ini—terutama bagi ummat Islam—pada persekolahan, bukan pada keluarga dan masjid, adalah kebijakan feminisme. Pendidikan diselenggarakan sesuai standard yang gender-neutral; secara sengaja mengabaikan potensi fitrah yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Akibatnya, kinerja produktif keduanya jauh dari optimal karena berjalan bertabrakan, tidak saling melengkapi. Penyimpangan perilaku seksual juga terjadi di mana-mana.
Dalam ajaran Islam, ibu adalah madrasah yang pertama dan utama bagi anak-anaknya. Bukan guru di sekolah. Oleh karenanya, surga-Nya di telapak kaki para Ibu. Sayang sekali, banyak kebijakan pemerintah saat ini justru meremehkan peran ibu dengan melemahkan peran keluarga sebagai satuan edukatif dan produktif yang penting.
Dalam model ekonomi makro, keluarga adalah satuan konsumtif, sementara investasi digeser dari keluarga ke sekolah dan pabrik. Pada saat tugas-tugas edukatif dan produktif keluarga dilemahkan, maka eksistensi keluarga ini langsung terancam. Laju kehancuran keluarga saat ini telah mencapai 40 perceraian per jam.
Kyai Sholeh Darat yang mengajar Kartini telah membuka mata Kartini bahwa perempuan oleh Islam ditempatkan pada derajad yang tinggi. Kartini lalu dengan bangga mengabarkan pikiran-pikirannya yang telah tercerahkan itu pada teman-teman Belandanya. Tentu sangat disayangkan jika banyak perempuan muslim Indonesia saat ini justru malu menunjukkan diri sebagai muslimah. Padahal Kartini bangga dengan kemuslimahannya itu yang telah mengeluarkannya dari kegelapan kepada cahaya. (*)
Labuanbajo, 21 April 2018
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya