PWMU.CO – Mengapa konten SARA selalu dijadikan variabel tematik dalam pemilihan umum (pemilu)? Pertanyaan itu dilontarkan Dr Sufyanto dalam kegiatan “Sosialisasi Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018, Kajian Dakwah Nasyiatul Aisyiyah, dan Konsolidasi Organisasi”.
Kegiatan yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) Jawa Timur bekerja sama dengan KPU Jawa Timur ini bertempat di Aula Mas Mansyur Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur dan diikuti 16 Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah (PDNA) se-Jawa Timur, Selasa (1/5/18).
Sufyanto, Ketua Ketua Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) Jawa Timur periode 2012-2017 tersebut, menyampaikan, konteks SARA dalam kampanye pemilu menurut perspektif Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sebelumnya dia mengatakan, hampir setiap waktu kita berdiskusi tentang pemilu dan demokrasi.
“Setiap negara demokrasi pasti menyelenggarakan pemilu. Tapi ingat, tidak semua negara yang menyelenggarakan pemilu bisa berlangsung demokratis,” tuturnya.
Menurutnya, pemilu di Indonesia mungkin belum menggembirakan, tapi sudah ke arah yang lebih baik. “Kelemahan itu adalah proses dari bagian demokrasi,” imbuhnya.
Lalu, mengapa SARA jadi konten tersendiri dalam pemilu kita? Sufyanto lalu menjelaskan isi Undang-Undang Pemilu. “Larangan konteks SARA dalam kampanye itu adalah menghina seseorang, suku, agama, ras, golongan, calon dan/atau peserta pemilu lain. Selain itu, menghasut dan mengadu domba perseorangan atau pun masyarakat,” tegas pria yang menamatkan studi S1 Filsafat-nya di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya tersebut.
Sebenarnya, lanjutnya, fenomena konten SARA yang mengemuka dalam pemilu kita ini seperti yang dijelaskan dalam dua buku The Power of Identity karya Manuel Castell dan The Politics of Identity karya Michael Kenny. “Castell melihat bahwa konten suku, agama, golongan itu bagian dari identitas yang juga merupakan bagian dari cara seseorang menentukan pilihan,” kata dia.
Pria yang menuntaskan pendidikan S2 dan S3-nya di FISIP Universitas Airlangga Surabaya ini menjelaskan, identitas itu sebagai kekuasaan tersendiri. “Hal ini khususnya untuk negara multi-etnik seperti Indonesia. Seperti contoh, penggunaan istilah pribumi. Itu juga bagian dari identity,” ungkapnya.
Menurut dia, yang terpenting bagaimana identitas ini dinegosiasikan, bukan dinegasikan. “Jadi, berbeda itu boleh-boleh saja. Jangan saling ditiadakan, tapi saling dikomunikasikan,” saran dia.
Sufiyanto berharap kita semua dapat mengenal konteks-konteks yang menyangkut identitas-identitas itu tidak dijadikan sebagai alat penghasutan/penghinaan.
Di akhir pemaparannya, Sufyanto ingin teman-teman Nasyiah tahu betapa pentingnya merevitalisasi makna politik menjadi habitus aktor politik dalam memaknai arena perjuangan yang suci dan terhormat untuk kehidupan bersama yang lebih bermartabat dan berperadaban. (Vita)