PWMU.CO-Kota metropolitan Surabaya yang ayem saja selama ini akhirnya jebol juga oleh aksi teror bom. Terjadi di lima lokasi bersusulan Ahad (13/5/2018) dan Senin (14/5/2018). Peledakan bom bunuh diri di lima tempat itu diduga dari satu keluarga ayah, ibu, dan anak.
Menurut Pradana Boy ZTF PhD, duta perdamaian agama dunia King Abdullah bin Abdulaziz International Center for Interreligious Dialogue, berbagai kejadian yang melibatkan kekerasan belakangan ini menunjukkan, radikalisme atas nama apa pun tidak pernah mati. Untuk mudahnya, kejadian seperti itu disebut sebagai terorisme.
”Secara semantik, sebutan seperti itu benar karena kejadian itu memang menebar ketakutan. Menebarkan ketakutan ini disebut teror,” kata Pradana Boy (41) ketika dihubungi Senin (14/5/2018).
Dia menyatakan, menjadi sedikit problematik karena teror lantas dihubungkan dengan agama. Lalu, Islam muncul sebagai agama dengan tingkat ketertuduhan sebagai pelaku terorisme paling tinggi. Ini juga problematik meskipun kesimpulan semacam itu tidak lahir tiba-tiba.
”Yang pasti, sekali lagi, semua kejadian ini menunjukkan bahwa radikalisme tak pernah mati,” tegas pria yang juga menjabat kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang itu.
Pradana Boy mengatakan, sasaran terorisme selama ini kalau bukan tempat ibadah, khususnya gereja, ya markas-markas petugas keamanan. ”Kita tidak tahu pasti apa alasan di balik pemilihan simbol-simbol itu,” ujarnya. Tetapi, tanpa harus menunjukkan kemungkinan pelakunya siapa dan dari pihak mana, pemilihan dua sasaran itu sangat simbolis. Modusnya bisa bermacam-macam, sangat spekulatif.
”Jika benar teror ini dilakukan oleh kelompok Islam radikal, maka menyerang markas polisi adalah bentuk protes, bahkan tantangan, pada pemegang otoritas keamanan,” ungkap dosen UMM itu. Bisa juga bermakna penghinaan bahwa otoritas keamanan negara ternyata tidak sepenuhnya sehebat yang dibayangkan. Bisa pula bermotif dendam karena perlakuan negara terhadap kelompoknya dianggap tak adil.
Gereja, menurut Pradana Boy, merupakan simbol agama. Maka, ledakan bom bunuh diri di tiga gereja sekaligus di ibu kota Provinsi Jawa Timur itu pada Ahad lalu menunjukkan adanya tingkat eksklusivitas yang tinggi dari para pelaku atas agama yang ia anut. Mereka melihat agama lain sebagai ancaman dan karena itu sah untuk dilenyapkan.
”Hanya, kita juga tidak boleh menutup mata atas kemungkinan bahwa simbol-simbol tadi diambil sebagai target untuk mengadu domba umat beragama agar saling curiga,” katanya.
”Jika ini yang menjadi kasus, maka sebenarnya teror ini lebih banyak ditujukan untuk mengeruhkan suasana untuk kemudian, ada pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan,” ujar lulusan bidang pemikiran Islam Australian National University (ANU) itu. (Achmad San)