PWMU/CO-Pagi itu, sejumlah siswa kelas 3-D Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah 4 Pucang, Surabaya tampak sumringah. Mereka terlihat duduk-duduk santai di ruang kelas dengan wajah cerah ceria. Matanya bening berkilauan terus memandangi guru mereka di depan kelas sambil mendengarkan apa yang diucapkan gurunya.
Para siswa berjumlah 39 anak itu tampak senang. Tak satu pun dari mereka tidak tersenyum, bahkan sebagian dari bereka bersorak keras sebagai ungkapan kegembiraan. Kelas pun berubah jadi ramai sekali pagi itu. Sebagian dari mereka kemudian maju mengerumuni guru mereka, Tazkiyatun Nafsi el-Hawa SS di depan. “Mana, Bu, mana, Bu, bukunya. Saya mau lihat,” pinta salah satu dari siswa yang penuh penasaran.
Ya, itulah suasana ketika Tazkiyatun Nafsi el-Hawa yang juga Wali kelas 3-D memberikan kabar surprise pada anak didiknya mengenai karya mereka, Selasa (15/5/2018). Tazkiyah —- sapaan akrab Tazkiyatun Nafsi el-Hawa —- menyampaikan bahwa karya tulis ritual Kamis Menulis akan diterbitkan. Ini adalah sebuah terbosan. Dan hebatnya lagi, itu adalah buah karya dari tangan para siswa sendiri sehingga terwujud menjadi sebuah buku antologi cerpen. Buku itu berjudul Ramun Ajaib. Buku cerpen ini akan menjadi karya manumental siswa di penghujung tahun pelajaran 2018/2019.
Kamis Menulis. Nama yang sangat familiar di telinga anak-anak kelas 3-D. Hari kesukaan murid-murid. Sebab setiap Kamis pagi, sang guru Tazkiyatun Nafsi el-Hawa SS membimbing para muridnya mengekspresikan ide melalui tarian jemari yang lincah. Tarian jemari dengan nilai estetika tinggi karena dibangun dengan cinta dan kesungguhan. Kegiatan Kamis Menulis berlangsung dua tahun.
“Buku Ramuan Ajaib ini dipersembahkan anak didik kami secara spesial untuk mama, papa, para guru, dan sekolah kami tercinta,” ujar Tazkiyah.
Kamis Menulis ini adalah terobosan pribadi Tazkiyah yang diselenggarakan seusai berdoa dan mengaji. Tujuannya agar anak-anak didiknya mencintai membaca dan menulis. Heterogennya siswa memang merupakan sebuah keniscayaan, tetapi menurut guru kelahiran Lamoingan ini, menulis merupakan skill yang bisa dilatih.
“Anak-anak mulanya tidak bisa, namun kini sudah terbiasa dengan menulis paragraf maupun cerita singkat,” terangnya.
Sesekali karya tulis anak didiknya dipajang di papan mading khusus “Kamis Menulis”. Tema menulis menyesuaikan dengan momentum tertentu. Misal peringatan tahun baru Islam diusunglah tema “Hijrahku”, saat kemerdekaan diusunglah tema “Indonesiaku” dan sebagainya. Selain menulis, kegiatan di kelasnya beragam. Membaca buku 15 menit setiap pagi, kultum, lomba meresensi buku, dan lomba menulis cerita.
“Anak-anak menulis dengan tema tersebut pada selembar kertas kecil warna-warni dan kemudian mereka menghias. Terakhir, mereka memajang karya tersebut di mading,” kisah Perempuan pemilih HUT 7 September itu.
Pencinta buku yang usianya menginjak 36 itu menambahkan, kegiatan Kamis Menulis adalah semangatnya mendukung gerakan literasi nasional. Kemampuan menulis anak didiknya diakui sangat unik dan kadang menghasilkan karya yang mengejutkan dan sarat makna. Meskipun cerita yang mereka tulis masih seputar pengalaman pribadi yang mereka alami yang dipadu dengan daya imajinasi yang asyik.
“Kami yakin keterampilan yang kami ajarkan ke anak-anak dapat menjadi bekal hidup mereka. Baca, baca, baca, dan menulislah. Semoga kegiatan Kamis Menulis di kelas kami menginspirasi,” tandas Sekretaris Departemen Organisasi Pimpinan Wilayah Nasyiatul ‘Aisyiyah Jawa Timur itu. (mul)