PWMU.CO-Dalam rentang kehidupan yang sudah berumur 108 tahun, Muhammadiyah mengalami pasang surut pusaran politik kekuasaan. Meskipun ketegangan politik berada di tingkat pimpinan dengan penguasa, namun denyutnya juga dirasakan arus bawah.
Demikian disampaikan Prof Abdul Malik Fadjar saat menyampaikan ceramah Ber-Muhammadiyah di Tengah Dinamika Politik Lokal dan Nasional dalam diskusi panel Kajian Ramadhan 1439 H di Dome Universitas Muhammadiyah Malang, Ahad (20/5/2018).
Menurut Malik Fadjar, Muhammadiyah bisa melewat ketegangan politik dan tetap eksis hingga kini karena para pimpinan pendahulu mempunyai prinsip dasar luwas dan luwes. ”Di zaman Kiai Ahmad Dahlan bisa tetap bergerak mengatasi ketatnya aturan kolonial sehingga dari Yogya dapat menyebar ke seluruh Indonesia,” katanya.
Di zaman Orde Lama, kata dia, masa sulit juga dialami Muhammadiyah di masa kemerdekaan saat tokoh Muhamamdiyah masuk Partai Masyumi. Menjelang Pemilu 1955, terjadi ketegangan sehingga NU keluar tapi Muhammadiyah tetap menjadi anggota kehormatan Masyumi.
Di zaman itu Muhammadiyah dipimpin Buya Sutan Mansur yang menjabat dua periode 1953-1956 dan 1956-1959 melahirkan Khittah Palembang. Khittah ini merupakan pokok pikiran arah garis perjuangan Muhammadiyah.
Buya Sutan Mansur sendiri juga pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Konstituante dari Masyumi, setelah Pemilu 1955 digelar.
Selama berada di Masyumi, tokoh-tokoh persyarikatan ini kritis terhadap Bung Karno. ”Saking keras garis politik itu sampai-sampai ketua PP Muhammadiyah Kiai Ahmad Badawi diadili oleh barisan garis keras dianggap menyalahi garis perjuangan,” ceritanya.
Ketegangan makin menjadi ketika terjadi PRRI/Permesta hingga dibubarkan Masyumi. Beberapa politisi yang warga Muhammadiyah ditangkap dan dipenjara dituduh terlibat. Kondisi ini berimbas pada Muktamar Muhamamdiyah ke-36 yang digelar di Bandung tahun 1965.
”Bung Karno tidak mau hadir membuka muktamar. Lalu Karim Oei datang melobi Bung Karno menjelaskan bahwa Muhammadiyah itu bagian dari kehidupan Bung Karno bagaimana tidak datang, apalagi warga Muhammadiyah tidak marem kalau muktamar tidak dibuka oleh Presiden Bung Karno, ” kisah Malik Fadjar.
Ternyata, sambung dia, Bung Karno luluh juga. ”Oke saya datang tapi sebentar saja. Membuka lalu pulang,” kata Malik mnceritakan jawaban Bung Karno.
Di zaman Orde Baru masa sulit dialami saat penerapan asas tunggal Pancasila, kata Malik Fadjar. Ketua PP Muhammadiyah Pak AR Fachruddin sampai memutuskan menunda muktamar ke- 42. Ketika ditanya Buya Malik Ahmad (Wakil Ketua PP Muhammadiyah garis keras), Pak AR beralasan, ingin semua pengurus sepaham mulai dari pusat sampai ke daerah tentang asas tunggal.
Saat Pak AR sangat akrab dengan Pak Harto sehingga sering ngobrol lama sekali pun dicurigai sudah terkooptasi sehingga namanya sempat dicoret oleh Buya Malik ketika muktamar. “Saya juga ditegur oleh Buya Malik, katanya kalau makan salak jangan sama kulitnya,” ujarnya . ”Maka saya jawab, kulitnya sudah dikupas oleh Pak Harto,” ujar Malik Fadjar.
Di zaman reformasi, posisi Muhammadiyah makin sulit karena ketua umumnya Amien Rais menjadi tokoh sentral reformasi yang menggalang kekuatan menjatuhkan Presiden Soeharto. Saat deklarasi PAN juga menimbulkan ketegangan tentang posisi Pak Amien Rais. Jalan keluarnya Pak Amien meletakkan jabatannya di Muhammadiyah untuk memimpin PAN.
Di zaman Presiden SBY, juga ada masa kesulitan karena tidak sepaham dengan pemerintah. Akibatnya SBY tidak mau hadir saat muktamar ke- 46 di Yogyakarta alasannya karena melawat ke Turki. ”Akhirnya Presiden SBY membuka muktamar lewat video conference,” tutur Malik Fadjar.
Posisi Muhammadiyah sekarang, kata Malik, juga tidak bisa bebas dari tarik menarik kepentingan politik. Dia menyarankan harus ada kader-kader yang terjun di dunia politik. “Harus ada seperti Prof Zainuddin Maliki yang siap ke DPR RI. Jangan tenang-tenang saja, iso-iso gak disopo,” tegas anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini. (Sugiran)