PWMU.CO – Mahasiswa Universitas Trunojoyo Madura (UTM) yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Cabang Bangkalan menggelar acara Ngaji Film dan Bukber (buka puasa bersama) di Aula Gedung Mas Mansur Sekretariat IMM Bangkalan Jalan Telang Indah Bangkalan, Ahad (20/5/2018).
Film dokumenter yang ditonton berjudul Asimetris. Acara ini juga menyemarakkan peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang jatuh setiap tanggal 20 Mei. Puluhan mahasiswa UTM lintas jurusan tampak hadir nobar film tersebut.
Inisiator acara Ubay Nizar Al-Bana menyampaikan, peringatan Harkitnas tahun ini terasa istimewa karena momennya pas bulan suci Ramadhan 1439 Hijriyah. “Jadinya, Harkitnas bernuansa Ramadhan. Atau istilahnya ngabuburit sambil nobar Film,” kata pria yang menjabat sebagai Kabid Medkom DPD IMM Jatim.
Mahasiswa UTM asal Sidoarjo ini mengatakan, pemutaran film dokumenter ini bertujuan untuk membangkitkan semangat kepedulian dan empati mahasiswa menyikapi gejala sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat sekitarnya.
“Kami berharap agar mahasiswa lebih peka terhadap gejala sosial yang timbul di masyarakat dan berani bersuara lantang, terutama soal isu lingkungan dan agraria,” imbuhnya.
Senada itu, Muhammad Ilham, mahasiswa asal Lamongan menambahkan, belakangan isu-isu tentang lingkungan dan dampak pengelolaan lahan hutan sudah jarang sekali menjadi diskusi intens di kalangan mahasiswa.
“Nah, tema lingkungan dan efek sosialnya perlu digaungkan kembali. Ini menarik karena temanya bukan membahas soal politik jelang Pilkada serempak, tapi tentang dampak lingkungan,” terang mahasiswa Jurusan Hukum Pemerintahan UTM semester tujuh.
Selesai Nobar film, acara pun berlanjut dengan bukber, shalat jamaah Magrib dan kemudian berlanjut dengab sesi diskusi menghadirkan Muhammad Roissudin, anggota Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) sebagai pembicaranya.
Rois memaparkan, pada konteks sosial film ini cukup menarik untuk dikaji lebih dalam oleh mahasiswa maupun masyarakat secara umum. Tapi dari sisi regulasi, film dokumenter berjudul Asimetris ini seharusnya lebih dulu disensorkan.
Hal itu, kata Rois, penting agar film dokumenter tidak hanya menonjolkan makna. Tapi film juga bisa ditonton oleh khalayak ramai.
“Tak kalah penting adalah film yang telah disensor akan mendapatkan perlindungan hukum,” kata komisioner yang bertugas sebagai Tenaga Sensor, Pemantauan dan Sosialisasi LSF Perwakilan Jawa Timur ini. (Aan)