PWMU.CO-Salah satu tema menarik dalam Tadarus Pemikiran yang diselenggarakan JIMM dan PSIF UMM adalah Aktualisasi Jihad Digital Muhammadiyah di Era Kekinian. Tema itu diangkat pada hari kedua acara, Kamis (24/5/2018).
Jihad digital, kontra-narasi hoax, dan maqasid syariah merupakan beberapa isu penting yang diangkat oleh para pemakalah. Menjadi tantangan sekaligus jawaban Persyarikatan di era kekinian. Bahasan jihad digital salah satunya diangkat pemakalah Amsa Nadzifah dengan judul Jihad Digital: Jawaban Sekaligus Tantangan.
Membicarakan sejarah literasi Muhammadiyah, kata Amsa Nadzifah, tidak luput dengan Majalah Suara Muhammadiyah dan Suara Aisyiyah. SM merupakan majalah bernapas Islam yang tertua, yakni mulai Januari 1915 dan mampu bertahan hingga saat ini.
”Saat ini pun Muhammadiyah telah merambah media daring yakni muhammadiyah.or.id, www.suaramuhammadiyah.or.id, dan beberapa ortom seperti www.immbskm.org yang saya kelola,” ujar alumnus UGM ini. ”Tetapi, media daring punya tantangan melawan hoax,” tandasnya.
Makalah senada juga disampaikan Achmad Santoso. Dia menyampaikan makalah berjudul Muhammadiyah, Intelektualisme, dan Ikhtiar Memerangi Hoax. Alumnus IMM UMM ini memperingatkan kepada situs media daring karena hoax bisa menyerang kapan saja, utamanya di media sosial.
”Menurut sebuah survei pada Februari 2017, berita hoax telah tersebar di situs-situs internet sebanyak 34,9 persen, televisi (8,7 persen), media cetak (5 persen), e-mail (3,1 persen), dan radio (1,2 persen),” jelasnya.
Jika dilihat, Facebook merupakan media yang paling sering diserang hoax. ”Itu tidak dapat disangkal. Tahun 2018 ini misalnya, pengguna aktif Facebook tercatat menguasai dua pertiga pasar dengan jumlah pengguna lebih dari 2,17 miliar. Indonesia terbesar keempat di dunia dan nomor satu di ASEAN,” paparnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, Muhammadiyah sebagai gerakan amar makruf nahi munkar juga harus ikut mengonter berita dusta. ”Bukannya malah mudah sekali ikut-ikutan menebar hoax seperti yang terjadi di grup FB Muhammadiyah selama ini,” ujarnya.
Daripada menyebar berita dari situs tidak jelas, lebih baik mencoba turut merawat situs-situs Muhammadiyah seperti Muhammadiyah.or.id, PWMU.CO, Khittah.co, Klikmu, dan sebagainya.
Sementara itu, pemakalah AS Rosyid, alumnus IMM Tamaddun UMM, membaca hoax dari sisi yang lebih dalam. Hoax, kata pria yang akrab disapa Ical ini, tak hanya perihal berita, tetapi juga narasi yang dibuat oleh satu pihak tertentu kepada pihak lain. Narasi itu seolah benar, padahal belum tentu.
”Misalnya ada narasi Kampus Unggulan, TNI-Polri Menjaga Kedaulatan NKRI, Desa adalah sumber ketenangan,” ujarnya.
Hoax yang cukup menghebohkan, sambung dia, adalah hoax Alan Sokal dan Ekspedisi Indonesia Biru. Pada Ekspedisi Indonesia Biru, ada upaya melawan hoax yang dinarasikan oleh negara tentang isu-isu kesejahteraan umum dan lingkungan hidup. Ekspedisi Indonesia Biru melakukan pembongkaran bahwa apa yang dinarasikan negara lewat framing media sangat tidak menggambarkan kondisi utuh di lapangan.
Lebih jauh, penulis novel Gerimis di Atas Kertas itu menjelaskan, narasi hoax sejatinya sudah ada sejak zaman KH Ahmad Dahlan. ”Salah satunya ketika guru dianggap tabu mencari murid karena menjaga marwah. Kemudian KH Ahmad Dahlan mengubah tradisi itu. Beliau mencari murid-murid untuk diajak belajar,” terangnya.
Kemudian, lelaki asli Lombok ini menawarkan konsep maqasid syariah untuk kontra-narasi hoax. ”Maqasid syariah adalah tujuan suatu hukum,” katanya. Ada tiga level penggunaan maqasid syariah.
”Pertama sebagai pemahaman akan hikmah di balik syariat. Kedua sebagai tujuan yang harus dicapai setiap produk fatwa atau produk hukum Islam. Ketiga sebagai pedoman menggali etika dari syariat untuk dikembangkan merespons isu-isu kekinian,” jelasnya.
Contoh sederhananya, ibadah puasa memiliki hierarki nilai. ”Ada tingkat pertama yang hanya melihatnya sebagai anjuran Allah, tingkatan kedua puasa mengandung hikmah, ketiga melawan budaya konsumerisme, dan seterusnya sampai level tertinggi,” paparnya. (Achmad San)