PWMU.CO – Langkah Kementerian Agama merilis daftar 200 mubaligh yang recommended ibaratnya masih seperti memajang bidak-bidak di papan catur. Belum memainkan. Kalau kemudian menarik perhatian dan menjadi polemik, bisa jadi publik melihat ada yang ganjil.
Misalnya, kok rajanya diganti janggel jagung. Apa karena rajanya ketelisut? Benteng yang seharusnya di pojok belakang ditaruh di depan raja seolah benteng berubah jadi bodyguard pasang badan. Malahan kuda yang seharusnya dipersiapkan di bidak belakang juga ditaruh di pinggir depan sehingga yang melihat menjadi khawatir, jangan-jangan jalannya lurus atau menjadi sejenis kuda lumping yang akan ciak beling.
Yang jelas, cukup alasan publik untuk memadang adanya keganjilan tersebut karena Kementerian Agama tidak menyertai penjelasan yang detail ketika merilis daftar itu. Mengapa rilis itu diluncurkan tiba-tiba seperti mobil belok mendadak tidak pada enggok-enggokan sehingga melewati tegalan yang banyak jeglongan.
Tidak dijelaskan bagaimana daftar 200 mubaligh itu disusun. Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin bilang, sesuai masukan tokoh agama, tokoh masyarakat, ormas-ormas besar. Tapi nyatanya banyak ormas Islam kaget, heran dan mengkritisi. Misalnya, Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir, Ketua Umum PBNU Said Agil Siraj. Kalau sejak awal terlibat hampir pasti tinggal mengamini.
Jika peluncuran rilis itu sesuai aspirasi masyarakat, mestinya mubaligh-mubaligh yang memiliki popularitas tinggi dan digandrungi masyarakat masuk daftar itu. Contohnya Ustad Adi Hidayat, Ustad Felix Siauw, Dr Khalid Basalamah, Syafiq Basalamah, Ust Zulkifli Muhammad Ali, Ust Bachtiar Nashir, Habib Rizieq dan banyak lagi.
Mengapa justru memasukkan nama orang yang sudah mati, Dr Fathruhin Zen. Memangnya ada masukan aspirasi ahli kubur. Ada juga mantan terpidana korupsi yang ketika melakukan korupsi juga sudah menjadi mubaligh, pengurus ormas Islam besar dan menteri agama. Mubaligh mantan preman seperti Anton Medan dan Johny Indo lebih dihargai dari pada mantan ustad atau mubaligh yang dibui karena korupsi lantas mau jadi mubaligh lagi. Untung saja mubaligh kondang KH Anwar Zahid dari Bojonegoro tidak salah ditulis Anwar Hudijono.
Menteri Agama memang sudah berusaha menjawab yang dimasalahkan publik. Namun alih-alih bisa menjernihkan informasi, tapi justru ibarat mengubek-ubek kolam yang airnya malah semakin lama semakin keruh. Pada gilirannya memantik banyak spekulasi.
Karena ini tahun politik, berbiaknya spekulasi bahwa ada tendensi politis di balik rilis ini tidak bisa dihindarkan. Dianggap sebagai langkah politik pemerintah untuk membangun barikade mubaligh atau ulama yang berfungsi untuk membentengi pemerintah dari kritikal mubaligh. Untuk memberi legitimasi kemauan pemerintah dalam “penataan” umat Islam.
Masih dalam naluri tahun politik, kebijakan Menag ini bisa membangkitkan kembali arwah sistem politik bureucratic polity yang hidup di jaman Orde Baru. Istilah ini dilansir pakar politik asal Amerika Karl D Jackson bahwa dalam bureaucratic polity, negara menjadi akumulasi dari kekuasaan dan menyingkirkan peran masyarakat dari politik dan pemerintahan. Negara mengambil ranah-ranah yang seharusnya menjadi ranah masyarakat.
Akan menjadikan NKRI menjadi political religion, agama politik. Jika pada masa Orde Baru yang menjadi agama politik adalah Pancasila, di mana Pancasila ditafsirkan secara sepihak oleh pemerintah. Penafsiran itu sekaligus dipakai negara untuk memberangus daya kritis masyarakat. Membungkam perbedaan masyarakat terhadap pemerintah. Dikhawatirkan, daya kritis masyarakat, koreksi masyarakat terhadap kebijakan negara akan dibungkam dengan sebutan anti NKRI atau mengancam NKRI.
Ada spekulasi lain lagi. Setelah rilis ini akan ada kebijakan agar instansi pemerintah, BUMN, hanya menggunakan mubaligh yang masuk dalam daftar Kemenag. Setelah itu diperluas perusahaan rekanan pemerintah. Setelah itu ormas-ormas, kelompok pengajian, majelis taklim, komunitas arisan. Mirip yang terjadi di UGM di mana rektor selaku representasi pemerintah menyuruh takmir untuk membatalkan Fahri Hamzah sebagai penceramah. Fahri dikenal sebagai sosok yang kritikal kepada pemerintah. Artinya pola demikian bisa dipakai.
Jika spekulasi ini benar terwujud, maka kemungkinan mubaligh yang masuk dalam daftar Kemenag atau mengantongi beselit akan laris manis. Jadi rilis ini bernuansa “Mubaligh Sale” (tapi pasti bukanlah). Yang tidak masuk daftar akan kekurangan job. Kalau sudah menyangkut urusan job, ini berimplikasi pada suasana kebatinan para mubaligh.
Mubaligh yang super sibuk, lompat dari mimbar ke mimbar dengan lautan massa di depannya, akan merasa kesepian, masygul. Ibarat orang yang sudah biasa merokok tiba-tiba disuruh ngemut driji, pasti bukan saja tidak enak tapi juga malu karena seperti balita.
Mubaligh yang tidak sabar dan agak kemenyek, akan segera menuntut dibukanya pendaftaran baru dengan syarat-syarat lebih ringan seperti lulusan sarjana yang menuntut segera dibuka lowongan baru PNS. Kalau perlu bolehlah ada konsesi sikik-sikik.
Sekali lagi, semua masih spekulasi. Publik saat ini ibarat penonton pertandingan catur antara Menag dengan kelompok kritis dengan Menag memegang bidak putih yang akan melangkah duluan. Apakah akan menggulirkan pembukaan trompowsky, gajah-raja, pembukaan Spanyol/Ruy Lopez. Karena jabatannya Menteri, ciamik juga menggunakan pembukaan gambit menteri. Atau karena saat ini populer lagu Jaran Goyang, boleh juga mencoba pembukaan “Viena” Vallens.
Bisa juga jadi spekulasi lain, pertandingan tidak usah diteruskan. Papan catur ditutup. Lantas melakukan buka bersama dengan kolak pisang dan tahu isi. Jika dianggap perlu, bisa dipersiapkan secara seksama sehingga tidak lagi membuka pelbagai spekulasi dan ribut seperti kawanan burung parkit yang kandangnya dibobol nyambik. (*)
Kolom oleh Anwar Hudijono wartawan senior.