PWMU.CO – Suatu hari Umar bin Khattab jalan-jalan ke pasar. Saat sedang asyik-asyiknya memperhatikan kondisi pasar untuk memastikan transaksi berjalan secara syar’i, tiba-tiba dia mendengar seseorang yang sedang berdoa. Menurut Umar, doa itu sedikit aneh, agak ganjil.
Demikian dikisah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim DR Syamsuddin saat mengawali kultum tarawih di masjid An-Nur Muhammadiyah Sidoarjo, (8/6). Doa apakah yang menurut Umar itu terasa sangat aneh? “Ternyata isi doanya begini, Allahummaj’alni min ‘ibaadikal qaliil… Allahummaj’alni min ‘ibaadikal qaliil…,” jelas Syamsuddin.
“Arti doa tersebut adalah, ya Allah, jadikanlah aku bagian dari golongan yang sedikit, jadikanlah aku bagian dari golongan yang sedikit,” jelas pakar Ilmu Hadits itu.
Mendengar ada orang berdoa begitu, Umar kemudian bertanya kepadanya. “Ya Akhi, dari mana engkau mendapat doa seperti ini?. Orang itu menjawab, Ya Amirul Mukminin, apa engkau tidak baca al-Quran yang berbunyi, wa qaliilun min ibadyasy syakur, dan sedikit sekali hamba-hambaku yang bersyukur,” jelas Syamsuddin tentang bunyi ayat ke-13 dari al-Quran Surat Saba’ itu.
Dari cerita ini, kata Syamsuddin, menunjukkan bahwa dia ingin jadi orang yang bersyukur, karena faktanya orang yang bersyukur sangat sedikit.
Terkait dengan amal bersyukur ini, dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya ini menjelaskan lebih mendetail. Mengutip Imam al-Ghazali, jelasnya, bersyukur adalah menggunakan semua nikmat Allah pada jalan, pada jalur ketaatan kepada Allah. “Dan pada saat yang sama menghindarkan diri pada jalan kemaksiatan kepada Allah.”
Nikmat yang diterima manusia, tambah Syamsuddin, sangatlah banyak. Bahkan tidak seorang pun yang sanggup menghitungnya. “Jika semua kenikmatan diletakkan pada jalan ketaatan kepada Allah, maka itu tandanya kita bersyukur,” tegas Syamsuddin.
Jika ada ayat, Innal mubadzdzirina kaanu ikhwanas syayatiin, sesungguhnya mubadzri adalah temannya setan, berarti ini sebagai lawan dari ayat bersyukur. “Meletakkan semua nikmat Allah pada jalan kemaksiatan kepada Allah, walaupun sedikit,” jelas Syamsuddin tentang makna mubadzir sebagai lawan dari syukur.
Dalam sebuah hadits disebutkan, tidak akan geser kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ditanya tiga perkara. Pertama, ‘an umrihi, untuk apa umurnya dihabiskan. “Ia akan disebut hamba yang bersyukur jika menggunakan usianya dalam ketaatan kepada Allah. Umurnya digunakan untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah,” papar dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.
Kedua, fisiknya digunakan untuk apa. Dan ketiga, dari mana hartanya didapatkan dan kemana dibelanjakan. “Tidak jarang orang mendapatkan harta dengan jalan yang halal, tapi digunakan untuk kemaksiatan kepada Allah. Sebaliknya ada yang memperoleh dengan jalan maksiat tapi digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah,” tegas pembina Majelis Tarjih PWM Jatim.
Termasuk bersyukur jika seseorang meletakkan jiwanya, raganya, dan hartanya pada jalur dakwah amar makruf nahi munkar. (ernam)