PWMU.CO – Tindakan kolektif kaum agamawan menyelamatkan lingkungan disebut dengan “kanan ekologis” atau “kanan hijau” untuk membedakan dengan kiri ekologis—komunitas berideologi Marxis yang terlibat dalam isu ekologi. Islam sebagai ‘agama hijau’ (Abdul-Matin, 2010) itu sudah tepat karena memang telah mendapatkan pijakan filosofis dan teologis di dalam al-Quran. Kaum Islam disebut dengan ‘Kaum Hijau” di dalam bukunya Taufik Abdullah (2017).
Keterlibatan ummat islam atau kalangan agamawan di dalam isu ekologi ada juga yang menyebut sebagai kanan hijau (Aditjondro 2003). Ada banyak buku ihwal kanan hijau ini dalam literature mutakhir, seperti Ziauddin Sardar, The Touch of Midas: Science, values and environment in Islam and the West (1984), Hamid Dabashi dalam The Green Movement in Iran (2011) dan dalam Iran, the Green Movement and the USA: The Fox and the Paradox (2010), karya Harfiyah Abdel Haleem Islam and environment (1998), buku Negin Nabavi (ed), Iran: From Theocracy to the Green Movement (2012), dan lain-lain yang tak disebutkan semua di sini.
Etika pro lingkungan adalah istilah lainnya dari Islam hijau atau Islam ekologis. Terminologo ‘islam hijau’ atau islam sebagai agama yang harusnya ramah lingkungan sudah banyak disinggung dari beragam buku yang kian banyak di sepuluh tahun terakhir ini. Walau demikian, masih sangat membutuhkan penguatan di sana-sini agar gerakan hijau di dalam konteks masyarakat Islam menjadi lebih manifest dan berkesinambungan di dalam mewujudkan upaya pertahanan keseimbangan alam semesta –tempat manusia menyandarkan dan menggantungkan kehidupan dunianya.
Manusia secara mutlak tak dapat hdiup tanpa lingkungan hidup itu sendiri sehingga etika lingkungan menjadi salah satu kunci bagaimana manusia dan alam dapat memadu harmoni (equilibrium) untuk jangka waktu yang panjang.
Ayat-ayat ekoliterasi atau lingkungan dalam islam jelas cukup banyak walau mendapatkan posisi minor di kalangan agamawan dan pemeluk Islam itu sendiri. Sebagian besar ayat-ayat perintah agama Islam lebih banyak dipelajari dan dikaji dalam konteks kemuliaan hubungan verital antara hamba dan pencipta (khalik, atau hablum mina Allah), dan juga hubungan manusia dengan manusia (hablu minaan nass).
Dimensi ketiga hubungan simbiosis mutualisme dalam konteks hubungan manusia dengan alam ciptaan-Nya kurang mendapatkan pengarusutamaan dan seringkali jatuh pada konsep ontologis penciptaan yang sempit: alam diciptakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran manusia.
Orientasi antroposentrisme akut ini juga menjadi nilai-nilai konstitusi di dalam memperlakukan alam sebagai obyek eksploitasi sebagaimana tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 pra dan pasca amandemen yaitu: ‘…bumi dan air dan apa-apa yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat…..” jelas itu merupakan undang-undang yang ‘meracuni’ orang-orang yang berfikirian sempit bahwa, ‘untuk manusia, penghancuran alam sangat diperbolehkan dan alam punya cara sendiri membangun keseimbangan. Peran manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi untuk menjaga alam kemudian dinegasikan—diabaikan secara sadar. Inilah kesesatan epistimologis dan kejahatan ontology yang harus dipangkas segera.
Beragam kejahatatan yang sah menurut aturan di Indonesia: penguasaan SDA, pembalakan hutan, penghancuran biota laut, pembakaran lahan untuk sawit, dan beragam praktik keserakahan yang membuat alam menderita sepanjang hayat ini barangkali menjadi perhatian serius Muhammadiyah. Selain mengeluarkan ‘etika hijau’ yang saya format terminologi ini dari pelajaran enam ayat di dalam panduan hidup islami warga Muhammadiyah. Juga, dari teologi lingkungan yang diterbitkan oleh majelis lingkungan hidup PP Muhammadiyah.
Etika merupakan nilai-nilai yang terdiri dari bangunan ontologi, epistimologi, dan aksiologi yang mengutamakan dan memuliakan alam sebagai sesuatu yang bernilai tinggi dan mampu mengantarkan masyarakat dan kehidupan dalam satu bentuk keseimbangan hidup. Etika juga dekat dengan etos hidup, sebuah kerja-kerja yang didasarkan pada spirit pro-lingkungan. Etos itu sebagai karakter kuat seorang muslim. Maka karakter muslim hijau itu juga dapat dijadikan rumus sebagai Muhammadiyah sejati, bukan hanya bendera dan cat papan nama yang berwarna hijau.
Terdapat enam ‘ayat’ di dalam membangun pemahaman onotologi dan praktik islam hijau atau islam ekologis di Muhammadiyah. Pertama, pandangan Muhammadiyah bahwa. “lingkungan hidup merupakan alam sekitar dengan segala isi yang terkandung di dalamnya merupakan anugerah dan ciptaan Allah yang harus diolah/dimakmurkan, diperlihara, dan tidak boleh dirusak.” Dasar dari pemahaman ini adalah dari surat Al Baqoroh ayat 27 & 60; Asy-uara 152, al qashash ayat 77.
Kedua, warga Muhammadiyah berkewajiban menjaga lingkungan dengan peran-peran konservasi di dalamnya. Peran konservasi ini akan menentukan kelangsungan proses ekologis yang menjadi penopang kelangsungan hidup, terpeliharanya ekosistem demi terwujudnya kebahagiaan, keselamatan, kesekajteraan, dan kelansungan hidup manusia dan keseimbangan sistem kehidupan di alam raya.
Selemah-lemah iman, setidaknya seorang muslim hijau atau warga Muhammadiyah tidak berbuat kerusakan yang menimbulkan mala petaka di dalam alam semesta baik jangka pendek maupun panjang.
Kehancuran ekologis yang sengaja dilakukuan seorang muslim, tafsir saya, adalah bentuk kafir terhadap penciptaan alam yang disebut dengan kafir ekologis yang secara langsung juga akan mendatangkan beragam dosa-dosa sosial dan dosa dalam arti yang seluas-luasnya. Muhammadiyah melarang keras warganya menyebabkan bencana alam. Ini etika tentang pelarangan menistakan dna praktik tindakan persekusi terhadap lingkungan hidup.
Ketiga, tindakan amar ma’ruf nahi munkar di bidang pertahanan ekologis. Selain di bidang sosial politik keagamaan, tindakan aktif mengajak memperbaiki lingkungan dan mencegah dari kehancuran sebagai amalan mulia yang melengkapi bidang-bidang lainnya. Banyak kedzaliman, keserakahan, kebijakan yang kontra-ekologis yang harus diurus oleh Muhammadiyah.
Panduan ini mengarahkan pada model jihad ekologis semesta yang menysratakan mobilisasi sumber daya islam dan Muhammadiyah untuk memenangkan pertempuran ini. Jihad konstitusi, jihad agrarian prp keadilan lingkungan yang secara perlahan tapi pasti mulai diupayakan oleh elemen-elemen Muhamamdiyah dan aktifisnya. Orientasi gerakan ini bukan semata-mata untuk keadilan ekonomi, tetapi juga keamanan ekologi yang kini berhadapan dengan sistem global yang complicated, misal, isu perubahan iklim dan global warming.
Posisi Muhammadiyah bagaimana? Petisi perubaha Iklim Din Syamsuddin yang ditandatangani lebih dari tiga ratus ribu di change.org? Amanah Muktamar ke-47 tentang perubahan iklim? Muhammadiyah dapat dikata sedang mencari posisi strategis pasca penguatan ontologisnya dalam sistem politik internasional. Panggilan tindakan-tindakan kreatif untuk kelestarian ekologis di ranah lokal dan nasional juga tak kalah mendesaknya.
Terakhir, dari panduan buku hidup ekologis warga Muhammadiyah yaitu mengupayakan tindakan-tindakan nyata dan keberanian berkolaborasi demi terjaganya dan kembalinya keseimbangan lingkungan hidup. Sebagaimana point sebelumnya, posisi startegis Muhammadiyah dapat dirintis dengan pelibatan organisasi di dalam beragam tindakan kolektif berbagai level untuk kedaulatan dan keamanan lingkungan.
Upaya-upaya ini sudah mulai terlihat di organisasi otonom, universitas Muhammadiyah, pusat penanggulangan bencana, mejelis lingkungan hidup, dan tentu saja masjid-masjid Muhammadiyah yang semakin banyak menuju pro-hijau: hemat air,konservasi air, tenaga surya, dan seterusnya sebagai kondisi ideal yang mustinya diperjuangkan. Gagasan masjid organic ada di dalam keputusan musypimwil Muhamammadiyah DIY tahun 2016, juga ada beragam upaya mendorong fikih Lingkungan di majelis Tarjih, juga terbitan MPI Kalimantan selatan tentang fikih lingkungan dalam faham Islam/Muhammadiyah.
Bukan Muhammadiyah yang sebenar-benarnya jika terus menerus melakukan tindakan anti-keseimbangan ekologis, mendustakan keindahan alam raya beserta sistem jaringan hidupnya yang telah diangerahkan serta diamanahkan kepada ummat manusia terkhusus ummat Islam-Muhammadiyah. Bukan juga disebut Muhammadiyah dengan islam sebenar-benarnya, jika pasif tak melakukan upaya preventif, antisipatif, dan konservasi terhadap beragam persoalan alam di era kapitalisme dan neoliberalisme—dimana untuk memuaskan nafsu manusia, pasar, negara mereka tanpa merasa dosa melakukan penghancuran alam kehidupan secara massif, terstruktur, dan sistemik.
Muhammadiyah juga perlu memiliki peta yang jelas tentang kerusakan lingkungan dengan melacak berbagai lokasi di Nusantara, saya rasa ekspedisi Islam Hijau harus dipelopori Muhammadiyah untuk mendapatkan peta yang nyata dan beserta rancangan tindakan-tindakan yang dapat diupayakan secara sungguh-sungguh, konsisten, komitmen, dan terus menerus sebagai bentuk jihad yang aktual.
Gerakan radikal para mafia dan korporasi penghancur planet bumi ini sudah tak terkendalikan, tak dapat dihentikan daya rusaknya, maka yang bisa dilakukan adalah upaya membangun kembali basis pengetahuan ontologis mengenai manusia dan posisinya di alam raya. Sepertinya pilihan ini tindakan lambat, tapi itu tetap berguna karena ini juga soal pertempuran makna—dunia akan hancur, tetapi kehancuran itu memposisikan Muhammadiyah sebagai arus mulia dan sehat, bukan sebagai gerombolan penista lingkungan.
Gagasan etika lingkungan ala Muhammadiyah menjadi mendesak untuk ditemukan formulasi atau panduan praktis bagaimana Muhamamdiyah turut aktif terlibat di dalam memproteksi jagad raya dan isinya. Wallahu a‘lam. ***
Kolom ini ditulis David Efendi, Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah dan Ketua Serikat Taman Pustaka