PWMU.CO – Dalam dinamika kehidupan keagamaan di Republik Indonesia, Muhammadiyah beberapa kali mendapat tudingan sebagai organisasi yang tidak taat pada Ulil Amri. Terutama ketika putusan Muhammadiyah berbeda dengan Kementerian Agama dalam menetapkan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha.
Lalu berlindung pada QS an-Nisa’ ayat 59, Muhammadiyah dituding tidak taat pada Ulil Amri.Pada sisi lain, muncul juga pendapat bahwa Muhammadiyah sendiri merupakan Ulil Amri. Bagaimana sebenarnya tentang pendapat ini?
Terkait dengan definisi Ulil Amri, perbedaan pendapat ini muncul dari nash al-Quran surat an-Nisa’ ayat 59.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama bahwa pemerintah merupakan salah satu pihak yang disebut sebagai ulil amri, tentu dengan syarat-syarat tertentu. Tetapi sebagian memperluas makna ulil amri tidak hanya kepada pemerintah atau penguasa semata tetapi juga kepada siapa saja yang mempunyai kompetensi dan mendapatkan amanah untuk memimpin suatu urusan, baik itu perorangan atau lembaga.
Secara bahasa, kata “Uli” adalah bentuk jamak dari “waliyun”, yang berarti pemilik atau yang mengurus dan menguasai. Bentuk jamak dari kata tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak. Sedangkan kata “al-amr” adalah perintah atau urusan. “Dengan demikian ulil amri adalah orang-orang yang berwewenang mengurus urusan kaum muslim. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan,” begitu jelas Prof Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah.
Pemerintah adalah ulil amri dalam bidang-bidang yang ditugaskan dan menjadi wewenang mereka, misalnya menetapkan undang-undang dan urusan-urusan lainnya. Pada sisi lain, menurut Ibn ‘Abbas, ulil amri adalah ahli fiqh dan agama. Menurut Mujahid, ‘Atha’ dan Abu al-Aliyah serta Hasan al-Bashri, ulil amri itu adalah ulama. “Menurut Ibn Katsir sendiri, ulil amri mencakup keduanya, umara dan ulama,” jelas Prof Yunahar Ilyas sambil mengutip Tafsir Ibn Katsir.
Menurut Muhammad Abduh, ulil amri adalah jamaah ahlul ahli wal aqdi dari kaum Muslimin. Mereka adalah umara’ (pemerintah) dan hukama’ (penguasa), ulama, para panglima, dan semua pemimpin masyarakat. “Jika mereka semua sepakat tentang suatu urusan, kita semua wajib mematuhinya asal tidak bertentang perintah Allah dan Rasul-Nya,” begitu tulis As-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar.
“Jadi, menurut Syaikh Muhammad Abduh, permasalahan umat itu ada dua: duniawiyah dan diniyah,” begitu simpul almarhum KH Mu’ammal Hamidy dalam “Islam dalam Kehidupan Keseharian”. Orang-orang yang berwenang mengurusinya itu disebut “ulil amri”. Dalam dunia politik, ulil amri dalam urusan keduniaan disebut pemerintah. Sedang dalam urusan diniyah, adalah para ulama.
“Dan kalau kita berbicara tentang pemerintahan, maka di sana ada wilayah kekuasaan, ada aparat khusus, ada peresiden, dan sebagainya,” lanjut Mu’ammal. Sementara Muhammadiyah adalah Persyarikatan yang tidak mempunyai daerah kekuasaan tertentu, tidak punya aparat peradilan, dan sebagainya.
Bahkan secara tegas dikatakan dalam AD Bab IV Pasal 8 tentang keanggotaan: “Bahwa anggota Muhammadiyah adalah warga negara Indonesia yang bergama Islam”. Yang dipertegas dalam matan keperibadiannya: “Bahwa Muhammadiyah mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yangh sah”.
“Sementara dari segi diniyah, terutama menyangkut berbagai permasalahan hukum agama, yang notabene tidak diurusi secara langsung oleh pemerintah, maka dalam hal ini Persyarikatan Muhammadiyah adalah ulil amri,” tegas Mu’ammal.
Kesimpulannya, Muhammadiyah merupakan Ulil Amri dalam masalah diniyyah, Ulil Amri dalam masalah keagamaan. (redaksi)