PWMU.CO – Salah satu pertimbangan dalam memilih pemimpin, terutama Pemilu 2019, tidak ubahnya seperti berthaharah (bersuci). Selain harus memilih kandidat “air mutlak” dengan mengabaikan musta’malah dan mutanajis, ternyata juga ada pertimbangan ilmu fiqih lainnya. Terutama tentang kecondongan kandidat yang memperlihatkan “persahabatan” atau “permusuhan”, atau yang lebih dikenal dengan ahlul bait dan ahlul bait.
(Tentang definisi Caleg Musta’mal dan Mutanajis bisa dibaca: Soal Caleg Mantan Koruptor, Abdul Mu’ti Ibaratkan Bersuci dengan Air Musta’mal)
Demikian di antara isi ceramah Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah DR Abdul Mu’ti dalam Pengajian dan Halal bi Halal Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sidoarjo, (12/7). “Sudah saatnya warga Muhammadiyah memilih pemimpin yang menurut definisi thaharah masuk kategori air mutlak, dan termasuk ahlul bait sendiri.”
Menurut Mu’ti, dalam pemilihan anggota legislatif, termasuk DPD, setidaknya ada tiga pendekatan yang harus dilakukan warga Muhammadiyah. Pertama, pendekatan “kekeluargaan” atau ahlul bait, yang sang kandidat mendukung dakwah Muhammadiyah.
Pertimbangan kedua adalah ahludz dzimmi, atau mereka yang dalam track recordnya tidak pernah mengganggu dakwah Muhammadiyah. “Terakhir, ahlul harbi, mereka yang ada di luar, yang senantiasa memusuhi dakwah Muhammadiyah,” terang Mu’ti.
Dalam kegiatan yang juga dihadiri Nadjib Hamid sebagai calon anggota DPD RI dari Jawa Timur itu, Mu’ti berharap warga Muhammadiyah Jawa Timur bisa saling menguatkan seperti bangunan yang kokoh. “Kita menjadi kuat jika bekerjasama. Solid jika saling berkomunikasi. Juara jika bisa bersinergi. Satu sama lain saling mendukung. Seperti bangunan yang kokoh,” tuturnya.
Menurutnya, mayoritas belum tentu menjadi pemenang mayoritas jika suaranya terdistribusi. “Maka, jadilah minoritas tapi suaranya terkonsentrasi,” pesannya.
Mu’ti lalu berpesan agar warga Muhammadiyah harus berpartisipasi aktif dalam tiap aktivitas pemilihan umum. Sebab, menurutnya, kekuasaan anggota legislatif hingga presiden itu luar biasa. “Presiden Indonesia itu kekuasaannya luar biasa, bisa mengangkat menteri tanpa seleksi. Anggota DPR juga, mereka menjadi kekuatan kontrol pemerintah secara konstitusional. Maka, apapun partainya, kader yang diusung,” pungkasnya.
Dalam ceramah itu, Mu’ti juga berpesan agar warga Persyarikatan tidak menjadikan politik untuk tujuan pragmatis. Maka, kata dia, Muhammadiyah memandang penting politik. Bukan sebagai ajang perebutan kekuasaan. “Tapi sebagai dakwah, Islam menjadi nilai berpengaruh dan menjadi referensi dalam berbangsa dan bernegara,” ungkapnya.
Semoga, Islam benar-benar bisa menjadi referensi dalam ber-Indonesia. (darul)