PWMU.CO – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai salah satu pengelola anggaran fungsi pendidikan telah menerapkan beberapa kebijakan yang mendorong percepatan pemerataan akses pada layanan dan kualitas pendidikan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengungkapkan bahwa kritik pengelolaan anggaran fungsi pendidikan terus dipantau dan dijadikan bahan diskusi dalam penyusunan kebijakan.
“Intinya kami bertekad untuk mempercepat dan melakukan langkah-langkah yang radikal dalam rangka segera mengejar ketertinggalan kita di sektor pendidikan,” kata Muhadjir Effendy kepada Menteri Keuangan (Menkeu) yang hadir pada “Rapat Koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Bersama Kementerian Keuangan Republik Indonesia”, di Plaza Insan Berprestasi, Kantor Kemendikbud, Jakarta, Kamis (19/7/18).
Dalam sambutannya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan peningkatan jumlah alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara yang sudah memenuhi amanat Undang-Undang Dasar.
Anggaran fungsi pendidikan disebut Menkeu sebagai satu-satunya anggaran yang secara eksklusif diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu, diperlukan kesadaran untuk mengelola anggaran pendidikan secara profesional dan akuntabel.
Sebagai bendahara negara, Menkeu berjanji mengoptimalkan peran jajarannya untuk membuat indikator keuangan, baik pusat dan daerah, yang berujung pada akuntabilitas. Ia berpesan agar pejabat Kemendikbud mampu mendefinisikan dan memformulasikan masalah-masalah di sektor pendidikan menjadi rekomendasi yang konkret dan hasilnya memberikan dampak.
“Uang itu penting, tapi tidak yang paling penting dan menentukan. Harus ada pemikiran bersama untuk menggunakannya. Harus ada akuntabilitas,” tutur Menkeu kepada para pejabat eselon I, II, III, dan IV di lingkungan Kemendikbud.
Praktik desentralisasi pendidikan menjadi salah satu hal yang disoroti Menkeu. Salah satunya adalah komitmen alokasi anggaran fungsi pendidikan minimal 20 persen yang saat ini belum banyak dipenuhi oleh daerah. Diungkapkannya, daerah yang tidak mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar minimal dua puluh persen nanti akan dimungkinkan untuk dikenakan sanksi.
“Pikirkan, gunakan kami. Biarkan uangnya dipegang mereka tapi harus ada akuntabilitas. Alokasi dan distribusi tadi apakah menghasilkan?” kata Sri Mulyani.
Dilanjutkannya, Kemenkeu siap membantu pengoptimalan penggunaan anggaran fungsi pendidikan. “Saya akan tugaskan tiga dirjen saya yang bisa menjadi partner bapak dan ibu. Dirjen Anggaran, Dirjen Perimbangan Keuangan, dan Dirjen Perbendaharaan,” tegas Menkeu.
Realisasi anggaran Kemendikbud di tahun 2017 mencapai 97,10 persen dari pagu sebesar Rp. 37,96 triliun. Hal ini di atas capaian tahun 2016 yang hanya mencapai 88,9 persen. Bahkan di atas rata-rata nasional yang hanya mencapai 91,01 persen. Capaian tahun 2017 tersebut merupakan capaian tertinggi yang pernah diraih Kemendikbud.
Selain itu, opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) juga diperoleh dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama lima tahun berturut-turut. Hal ini merupakan wujud konkret komitmen pengelolaan anggaran fungsi pendidikan yang profesional dan akuntabel.
Dukungan peningkatan kualitas
Menkeu memahami adanya pro kontra dalam setiap penerapan kebijakan publik, khususnya koreksi dan penyesuaian kebijakan sebelumnya. Mantan Direktur Bank Dunia ini berpesan kepada para pejabat dan para pengambil keputusan agar benar-benar memahami dimensi atas kebijakan yang diambil.
“Selama kita akuntabel, pasti kita bisa jelaskan. Kenapa kita memilih ini? Apa yang kita tuju? Kenapa cara ini adalah cara yang kita anggap terbaik untuk saat ini dan untuk konteks ini?” katanya.
Rencana Kemendikbud untuk melakukan redistribusi guru sebagai tindak lanjut kebijakan zonasi untuk pemerataan didukung oleh Menkeu. Begitu juga dengan rencana desain ulang terkait tata cara pemberian tunjangan profesi guru agar lebih berdampak pada kualitas pendidikan.
“Kita bisa pikirkan cara-caranya, kami dari sisi keuangan siap membantu,” ungkap Sri Mulyani. (AS)