PWMU.CO – Kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Pradana Boy ZTF PhD (41), segera hijrah ke Istana Negara. Dosen Fakultas Agama Islam ini diangkat sebagai Asisten Staf Khusus Presiden RI bidang Keagamaan Internasional. Pengangkatan itu tertuang dalam Keputusan Sekretaris Kabinet Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2018 yang ditandatangani Sekretaris Kabinet Pramono Anung pada 29 Juni 2018.
Sebelum diangkat sebagai Asisten Staf Khusus Presiden ini, Pradana Boy banyak terlibat dalam berbagai seminar internasional dan menjadi pemateri terkait religion peace dan toleransi beragama dalam beberapa kali kesempatan. Pengalaman ini semenjak dirinya menjadi peserta program beasiswa kuliah di Australian National University (ANU), Canberra program Master of Arts dan National University of Singapore untuk meraih gelar PhD.
Dalam sebuah catatan biografinya, Pradana Boy berkisah awal ia bisa kuliah di luar negeri seperti yang sudah diimpikan sejak menjadi mahasiswa di UMM. Ditulisnya, memilih Australian National University (ANU) sebagai tempat belajar bukan tanpa alasan. Perkenalannya dengan ANU semua bermula dari bacaan ketika dirinya masih mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang.
“Saya membaca salah satu buku karya Zamakhsyari Dhofier yang berjudul Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai. Buku tersebut adalah versi terjemahan dari disertasi Zamakhsayari di Jurusan Antropologi, Australian National University (ANU),” kenangnya.
Menurutnya, buku itu detail dan mendalam. Hal ini pula yang membawanya pada kesimpulan bahwa pasti karena kualitas kampusnya yang baik dan pembimbingan yang serius lah, yang menjadikan disertasi ini berkualitas tinggi. Dari situlah lalu fantasi tentang studi di ANU menguasai alam fikirannya.
Waktu duduk di semester lima Jurusan Syariah, Fakultas Agama Islam UMM, Boy juga mengaku mulai belajar membaca teks-teks berbahasa Inggris. Hal itu lalu mengantarkannya pada disertasi Cak Nur (almarhum Prof Nurcholish Madjid) tentang filsafat dan kalam dalam pandangan Ibn Taimiyyah.
Belum lagi, mendapati disertasi lainnya karya Profesor Din Syamsuddin tentang politik alokatif di Muhammadiyah. Buku-buku ini tertulis dalam bahasa Inggris setebal ratusan halaman dengan tema-temanya sangat berat, sementara penulisnya orang Indonesia. Dan, inilah yang kian memantik obsesinya.
“Perenungan atas karya disertasi kedua tokoh intelektual Muslim terkemuka di Indonesia itulah yang kian melahirkan dorongan spiritual dalam diri saya untuk bisa melanjutkan studi ke luar negeri,” imbuhnya.
Pradana Boy teringat, pada suatu hari mengungkapkan keinginan ini kepada Emaknya di kampung halaman, sebuah dusun kecil di Lamongan. “Mak, nanti kalau lulus sarjana, saya ingin kuliah lagi. Kuliah ke luar negeri?”
Tak sepatah katapun keluar dari bibir Emak sebagai jawaban. Ia faham, kebisuan Emak itu adalah pertanda kebingungan. Kala itu, dalam hatinya mencoba menjawab, jangankan mau membiayai sekolah lagi untuk S2 dan ke luar negeri, sementara bisa menempuh pendidikan sarjana S1 saja, itu sudah memeras keringat dan airmata orangtuanya. (amen)