PWMU.CO – Proses politik di kubu oposisi saat ini seperti tembang zaman old Waljinah: gendulak gendulik pa sida pa ora. Muncul tenggelam jadi apa tidak. Tiba-tiba sudah mengerucut hampir deal, tiba-tiba cair lagi tidak jelas. Negosiasinya sangat alot layaknya orang sembelit yang dalam bahasa “Jerman”-nya disebut bedhegelen.
Kubu oposisi harus membangun koalisi jika mau memunculkan calonnya di Pilpres 2019. Karena persyaratannya, partai pengaju capres harus memiliki 20 persen kursi di DPR. Sementara tidak ada satu pun partai yang memiliki 20 persen. Maka, minimal harus hasil koalisi dua partai.
Nah, untuk membangun koalisi itu tidak mudah. Jangankan banyak partai, dua partai saja sulitnya ampun. Koalisi yang kuat dan bagus itu ibarat pernikahan. Diusahakan kufu. Dalam arti kedua mempelai harus seimbang, serasi dan selaras. Misalnya, seimbang kekayaanya, status sosialnya, tingkat pendidikannya, parasnya.
Kalau jauh dari kufu itu berpotensi menimbulkan fitnah. Misalnya, yang pria miskin sementara yang putri kaya. Nanti kasihan yang pria karena dianggap cuma modal kolor. Kalau yang pria jelek, sementara yang putri cantik, akan timbul fitnah bahwa yang putri diguna-gunai dengan sabuk mangir jaran goyang.
Yang lebih rumit bin ruwet kalau pernikahan adat Jawa. Mesti harus menggunakan petungan (remunerasi) beserta syarat-syaratnya. Misalnya, weton (jumah angkah kelahiran) pria dan putri harus serasi. Tidak boleh menikah antara weton pasaran wage dengan weton pahing karena berarti geing alias jumplang atau tidak serasi.
Jumlah weton pria dan putri tidak boleh 18 dan 25 karena akan rantas atau putus di tengah jalan, entah mati atau cerai. Semua harus dipetung dengan nagadina, nagataun, gelitdesa, dan sebagainya.
Tapi bisa juga koalisi yang longgar ibarat nikah mut’ah. Ini yang lebih mudah. Yang penting keduanya sepakat dengan mahar tertentu, untuk jangka waktu tertentu. Cocok diteruskan, tidak cocok buyar. Nikah mut’ah tidak perlu upa rampe yang jelimet.
Bisa juga koalisi model lokalisasi. Salah satu partai punya duit untuk membayar tarif yang sudah dibandrol partai yang hendak diajak koalisi. Miriplah dengan lelaki yang hendak jajan di lokalisasi. Boleh langsung bayar tanpa tawar menawar, boleh juga minta diskon. Apalagi di jaman now di mana money politics adalah hal yang lumrah, koalisi demikian lebih cepat, efisien. Bras-bres beres.
Salah satu yang mempersulit terjadinya koalisi itu adalah aturan ambang batas pilpres atau presidential threshold yaitu 20 persen kursi di DPR. Coba presidential threshold itu bebas alias setiap partai bisa mengajukan capres sendiri, pasti akan mudah. Pilpres akan diikuti banyak calon. Dan banyak calon itu untuk sebuah pesta demokrasi, lebih manusiawi, lebih ekspresif.
Untuk itu, ada baiknya Mahkamah Konstitusi (MK) memikirkan dalam-dalam untuk menganulir presidential threshold itu. Karena ambang batas semacam itu sangat mendorong kuat oligarkis.
Berdasar pengalaman Pilpres 1999 dan 2004, 2009, dengan banyak capres, proses pilpres lebih tenang, rasional, dan demokratis. Bandingkan dengan Pilpres 2014 di mana terjadi head to head Prabowo vs Jokowi, suhu politik sangat panas. Emosional primordialisme, hoax, fanatisme, nyaris membuat bangsa ini gelut secara head to head. Nah, MK harus arif menyikapi ini.
Mungkin juga, kubu oposisi mikir-mikir untuk melawan Jokowi yang digotong enam partai. Memang berdasar survei, elektabilitas Jokowi masih kurang 50 persen. Sebagai incumbent, tingkat elektabilitas ini tergolong rendah.
Cuma masalahnya, elektabilitas tokoh kubu oposisi masih jauh dari Jokowi. Taruhlah, tokoh yang paling kuat adalah Prabowo Subianto. Tingkat elektabilitas masih tertinggal sekitar 15 persen dari Jokowi. Artinya, rentang sebanyak itu membutuhkan sedikit keajaiban.
Jika melihat sulitnya koalisi mengajukan capresnya, jangan-jangan di Pilpres 2019 Jokowi akan melawan kotak kosong. Jika ini yang terjadi, ibaratnya kalau Jokowi menang ora kondhang, yen kalah ngisin-ngisini. Kalah tidak termasyhur sementara kalau sampai Jokowi kalah benar-benar aib.
Jika ini terjadi, maka nasib Pilpres:
Gendulak gendulik pa sida apa ora.
Kembang-kembang melati tak sebar neng tengah jogan. Kene setengah mati la kok kono gawe guyonan.
Pilpres pun jadi seperti guyonan. (*)
Kolom oleh Anwar Hudijono, wartawan senior.